Kini, gelombang modernitas dan globalisasi budaya telah meruntuhkan sekat-sekat kultural, etnik, ideologi, dan agama. Mobilitas sosial, ekonomi, pendidikan, dan politik, menciptakan keragaman dalam relasi-relasi keberagamaan. Kini, cukup sulit menemukan komunitas-komunitas sosial yang bisa konsisten memproteksi diri agar tetap menjadi kelompok sosial yang homogen dan monokultur. Fenomena multikultural sudah menjadi bagian dari imperatif peradaban manusia. Multikulturalisme melingkupi pluralitas ras, etnik, jender, kelas, dan agama sampai pilihan gaya hidup. Konsep ini setidaknya bertumpu pada dua keyakinan. Pertama, secara sosial, semua kelompok budaya dapat direpresentasikan dan hidup berdampingan bersama. Kedua, diskriminasi dan rasisme dapat direduksi melalui penetapan citra positif keragaman etnik dan pengetahuan budaya-budaya lain. Untuk itu, wawasan tentang multikulturalisme perlu dikukuhkan (juga) dalam soal keberagamaan akan tetapi tentunya dengan batas batas tertentu berdasarkan tuntunan syariah agama itu sendiri. Maka, untuk membangun keberagamaan yang multikultural –sembari tetap berakar pada tradisi teks– kita perlu kembali menempatkan paradigma tafsir sosial Islam yang mengedepankan pemaknaan-pemaknaan yang dinamis, progresif, dan toleran. Dengan begitu, dunia teks dan realitas sosial-empirik dapat berelasi secara mutual dan kritis, tanpa saling mensubordinasi yang lain. Paradigma hermeneutik sosial akan memicu pluralitas pemaknaan atas relasi antara teks dan konstruksi sosial. Wawasan pluralisme dan multikulturalisme yang inklusif, toleran, dan non-sektarian itu kini perlu dikembangkan lebih giat lagi untuk menggeser politik uniformitas agama yang dipaksakan melalui dominasi sistem sosial-politik. Pandangan ini penting disosialisasikan untuk menepis anggapan yang mempertentangkan antara tradisi teks Islam dengan realitas multikulturalisme. Sebagai ideologi partisipatoris, multikulturalisme mengusung prinsip-prinsip keragaman, kesetaraan, dan penghargaan atas yang lain, sebagaimana bunyi pesan-pesan moral Islam untuk memperjuangkan kemanusiaan secara total. Dengan demikian, kita harus menyadari bahwa proses menafsir dan mendesain Islam sebagai tenda peradaban, baik dalam cita terlebih dalam fakta sosiologis merupakan jihad peradaban kita yang paling besar.
Filed under: Uncategorized |
Tinggalkan Balasan