Obat itu Bernama Ilmu

Sebagian besar manusia menjalani kehidupan mereka dalam keadaan sakit, bingung dan tersesat. Mereka mencari obat untuk menyembuhkan penyakit mereka namun tidak mereka dapati, mereka melihat ke jalan yang mereka lalui, namun mereka tidak dapat membedakan! Padahal obat ada didepan mereka, ada diantara dua tangan mereka, obat tersebut adalah ilmu. Imam adz-Dzahabi (wafat tahun 748 H) berkata: “Barangsiapa sakit hatinya tertimpa keraguan dan was-was semua itu tidak akan hilang kecuali dengan bertanya kepada ahli ilmu. Hendaklah ia mempelajari kebenaran yang dapat menyingkirkan penyakit yang dideritanya.” Dan do’a yang paling mujarab adalah dengan merendahkan diri dihadapan Allah swt, meminta pertolongan kepada-Nya, hendaknya ia mengulang-ulangi dan memperbanyak do’a ini : “Ya Allah Rabb Jibril, Mikail, dan Israfil, yang menurunkan Taurat dan Injil, tunjukilah aku kepada kebenaran yang diperselisihkan dengan izin-Mu, sesungguhnya Engkau memberi petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki kepada jalan yang lurus”. (HR. Muslim 770) Hendaknya ia memperbarui taubatnya, memohon ampunan kepada-Nya, dan meminta kepada Allah keyakinan dan kesejahteraan. Insya Allah dengan hal itu tidak akan berlalu hari melainkan ia akan sehat dan sembuh dari penyakitnya, ketauhidannya akan selamat, dan ia tidak akan terjerumus kedalam ilmu kalam/filsafat yang barangsiapa mempelajarinya untuk mengobati penyakitnya maka akan melahirkan penyakit-penyakit lainnya yang bisa jadi akan membunuhnya !! Bahkan banyaknya keraguan dan kesamaran tidak akan menimpa melainkan kepada seseorang yang berkecimpung dalam ilmu kalam dan filsafat ! Obat dari hal ini adalah membuang jauh-jauh hal yang membinasakan itu (ilmu kalam), berpaling dari hal-hal itu secara menyeluruh, dan banyak membaca al-Qur’an, shalat, berdoa dan takut. Dan saya menjamin bahwa ketauhidannya akan murni dan Allah akan menyehatkannya. Jika ia tidak mempergunakan obat ini, maka ia telah berobat dengan penyakit, dan tenggelam dalam pendapat dan akal, bisa jadi ia akan selamat, dan bisa jadi binasa ! dan bisa jadi ia akan menderita sakit hingga wafat. Dari Abu Darda ra, ia berkata : Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris nabi, dan para nabi tidak mewariskan dinar tidak pula dirham tapi mereka mewariskan ilmu, barangsiapa mengambilnya berarti telah mengambil bagian yang banyak.” Al-Imam Ibnu Hibban (wafat th 354 H) berkata : “Dalam hadits ini terdapat penjelasan yang jelas, bahwasanya para ulamalah yang mempunyai keutamaan, mereka mengajarkan ilmu nabi saw, bukan ilmu-ilmu lainnya (seperti ilmu filsafat).” Tidakkah anda melihat beliau Rasul bersabda : “Ulama adalah pewaris nabi” dan para nabi tidak mewariskan apa-apa melainkan ilmu, dan ilmu nabi kita adalah sunnah-sunnahnya, barangsiapa tidak mengetahuinya bukan termasuk pewaris nabi.” Dan diantara ucapan yang indah adalah : “Ilmu adalah warisan nabi, demikianlah nash menyebutkannya sedangkan para ulama adalah pewarisnya.” “Nabi SAW tidaklah meninggalkan kepada kita melainkan hadits-haditsnya, itulah harta dan perabot rumah tangga nabi.

 

Tantangan Beragama Kita

Kini, gelombang modernitas dan globalisasi budaya telah meruntuhkan sekat-sekat kultural, etnik, ideologi, dan agama. Mobilitas sosial, ekonomi, pendidikan, dan politik, menciptakan keragaman dalam relasi-relasi keberagamaan. Kini, cukup sulit menemukan komunitas-komunitas sosial yang bisa konsisten memproteksi diri agar tetap menjadi kelompok sosial yang homogen dan monokultur. Fenomena multikultural sudah menjadi bagian dari imperatif peradaban manusia. Multikulturalisme melingkupi pluralitas ras, etnik, jender, kelas, dan agama sampai pilihan gaya hidup. Konsep ini setidaknya bertumpu pada dua keyakinan. Pertama, secara sosial, semua kelompok budaya dapat direpresentasikan dan hidup berdampingan bersama. Kedua, diskriminasi dan rasisme dapat direduksi melalui penetapan citra positif keragaman etnik dan pengetahuan budaya-budaya lain. Untuk itu, wawasan tentang multikulturalisme perlu dikukuhkan (juga) dalam soal keberagamaan akan tetapi tentunya dengan batas batas tertentu berdasarkan tuntunan syariah agama itu sendiri. Maka, untuk membangun keberagamaan yang multikultural –sembari tetap berakar pada tradisi teks– kita perlu kembali menempatkan paradigma tafsir sosial Islam yang mengedepankan pemaknaan-pemaknaan yang dinamis, progresif, dan toleran. Dengan begitu, dunia teks dan realitas sosial-empirik dapat berelasi secara mutual dan kritis, tanpa saling mensubordinasi yang lain. Paradigma hermeneutik sosial akan memicu pluralitas pemaknaan atas relasi antara teks dan konstruksi sosial. Wawasan pluralisme dan multikulturalisme yang inklusif, toleran, dan non-sektarian itu kini perlu dikembangkan lebih giat lagi untuk menggeser politik uniformitas agama yang dipaksakan melalui dominasi sistem sosial-politik. Pandangan ini penting disosialisasikan untuk menepis anggapan yang mempertentangkan antara tradisi teks Islam dengan realitas multikulturalisme. Sebagai ideologi partisipatoris, multikulturalisme mengusung prinsip-prinsip keragaman, kesetaraan, dan penghargaan atas yang lain, sebagaimana bunyi pesan-pesan moral Islam untuk memperjuangkan kemanusiaan secara total. Dengan demikian, kita harus menyadari bahwa proses menafsir dan mendesain Islam sebagai tenda peradaban, baik dalam cita terlebih dalam fakta sosiologis merupakan jihad peradaban kita yang paling besar.

Agama dan Cinta (Perspektif)

Cinta adalah ruh agama. Agama tanpa cinta adalah kematian itu sendiri. Hubungan antara agama dan cinta bak hubungan antara ruh dan badan. Bukankah Tuhan terlebih dahulu memperkenalkan diri-Nya sebagai Pecinta sebelum memperkenalkan-Nya sebagai pemarah? Bukankah kita selalu mengawali dengan bacaan basmalah setiap kita membaca Kitab Suci Al-Qur’an? Basmalah berarti kita membaca dengan Nama Tuhan Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang? Penyair besar Persia, Hafiz berkata: “Tak seorangpun di kolong dunia ini menapaki hidup tanpa cinta dan kasih sayang.1 Benar adanya apa yang dikatakan oleh penyair di atas. Segala sesuatu yang hidup dan bergerak senantiasa mendambakan cinta dan kasih sayang. Cinta adalah mata air kehidupan. Agamapun tak terkecualikan dalam hal ini. Agama yang mengklaim hidup sepanjang masa, hanya bisa tumbuh dan bertahan karena cinta. Agama yang membesarkan dirinya dengan kekerasan dan kebencian pada hakikatnya sedang membunuh dirinya sendiri secara perlahan. Agama yang bekerja untuk menumpuk lawan daripada menambah kawan sebenarnya sedang berjuang untuk mengakhiri hidupnya. Agama yang mengedepankan peperangan di atas perdamaian adalah agama yang berasal dari Tuhan yang Maha Pemarah, atau mungkin lebih tepatnya Yang Maha Pengganyang, bukan Maha Penyayang. Agama yang mengajarkan kebencian dan permusuhan adalah agama yang bertolak belakang dengan fitrah manusia. Dan manusia tidak akan dapat hidup dengan sesuatu yang bertentangan dengan fitrahnya. Sebab, manusia hanya bisa hidup dengan kasih sayang dan kelembutan, bukan dengan kebencian dan kekerasan. Cinta adalah ruh agama. Agama tanpa cinta adalah kematian itu sendiri. Hubungan antara agama dan cinta bak hubungan antara ruh dan badan. Bukankah Tuhan terlebih dahulu memperkenalkan diri-Nya sebagai Pecinta sebelum memperkenalkan-Nya sebagai pemarah? Bukankah kita selalu mengawali dengan bacaan basmalah setiap kita membaca Kitab Suci Al-Qur’an? Basmalah berarti kita membaca dengan Nama Tuhan Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang? Bukankah Isa al-Masih dikenal dan dipuja karena lautan kasihnya? Bukankah Muhammad saw mendapat predikat “rauf rahim” yang berarti pengasih dan penyayang karena kasihnya yang luar biasa? Dan penaklukan kota Mekkah menjadi satu saksi abadi betapa Rasul saw tidak sedikitpun menaruh dendam kepada orang-orang yang menyakitinya, mengusirnya dan membunuh sahabat-sahabat setianya. Bahkan ketika memasuki pintu gerbang kota Mekah tersebut, kota yg berhasil direbutnya dari tangan kafir quraisy Muhammad Saw tak pernah menunjukkan wajah bermusuhan dan dendam kesumat namun yang ada adalah lemparan senyum dan kasih. dan memaafkan mereka sambil berkata: “Idzhabu wa antum thulaqa” (pergilah dan kalian menjadi orang-orang yang bebas). Inilah Muhammad pengajar cinta sejati. Lalu mengapa agama dikait-kaitkan dengan kekerasan dan kebencian? Tentu ini usaha untuk menyimpangkan agama dari pilar sejatinya, yaitu cinta. Agama tidak mengajarkan kekerasan, permusuhan dan peperangan. Agama justru mengajarkan kedamaian, keharmonisan dan keamanan. Agama tidak pernah menghalalkan tindakan teroris, baik terorisme antar agama maupun sesama agama. Adalah benar bahwa jihad termasuk perintah Islam. Namun jihad bukan berarti melanggar hak orang lain atau membunuh jiwa yang tak berdosa secara biadab. Jihad dibolehkan hanya dalam rangka mempertahankan kebenaran dengan menjaga syarat-syaratnya yang ketat. Islam selalu mengutamakan perdamaian dan dialog yang sehat antar pengikut agama. Namun ketika pihak yang berlawanan memilih jalan peperangan, maka Islam tidak boleh “melempar panah (amunisi)” terlebih dahulu yang berarti ajakan untuk memulai peperangan. Demikianlah yang tercatat dalam buku-buku sejarah bahwa Nabi saw meski melakukan pelbagai peperangan, namun beliau tidak pernah memulai peperangan. Musuh-musuh beliau yang selalu mendahului untuk menyerang. Yang demikian ini karena alumni Gua Hira ini dididik oleh Tuhan Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang dengan didikan cinta dan kasih sayang. Dan setelah lulus dari pendidikan ini, beliau mendapat gelar habibullah (kekasih Allah) dan bersabda: “Aku dididik oleh Tuhanku dengan sebaik-baik pendidikan.” Peristiwa peledakan bom di Samara baru-baru ini tidak dapat dikaitkan dengan agama dan pelakunya tidak bisa disebut beragama. Agama mana yang menghalalkan peledakan bom di tempat ziarah yang selalu dipadati para peziarah tersebut? Agama mana yang membenarkan penghancuran makam orang-orang yang saleh dan dihormati? Peledakan ini bermotifkan kebencian dan kebencian tidak masuk dalam kamus agama. Agama tidak pernah mengenal kebencian. Prinsip agama adalah cinta. Peledakan bom tidak pernah membangun peradaban manusia, justru meruntuhkannya. Agama harus membangun peradaban, bukan malah menghancurkannya. Begitu juga “tragedi karikatur”. Saya menyebutnya sebagai sebuah tragedi karena saking rendahnya dan tidak bermartabatnya coretan ini. Bagaimana seorang nabi yang diutus untuk membawa rahmat dan kasih sayang digambarkan secara sinis dan terhina seperti itu. Karikatur ini hanya menanamkan kebencian dan menghancurkan ikatan kasih sayang. Sesuatu yang berangkat dari kebencian dan penghinaan itu tidak akan pernah bernilai. Dan ia tidak bisa dikaitkan dengan kebebasan berekspresi, karena ia berdiri di atas puing-puing kebencian dan penghinaan. Kebebasan berekspresi dan berpendapat itu menjadi bernilai bila tegak di atas nilai-nilai kemanusiaan dan kemuliaan. Karikatur ini hanya menunjukkan motif lain dibalik upaya makar penggarapnya. Maka,tersirat dengan jelas bahwa target yang diinginkan tidak lain adalah keinginan untuk menciptakan ketegangan antara timur dan barat serta pertikaian antar pemeluk agama atau setidaknya upaya sebagian rezim Barat untuk memojokkan penganut agama Islam, inilah drama dari lakon “Islam adalah agama kaum teroris“ yang terus dihembuskan oleh mereka yang memendam kebencian dengan agama cinta ini. Namun upaya itu tidak pernah terwujud dan sama sekali tidak berhasil menciptakan ketegangan dan konflik horizontal antar umat beragama seperti yang dikehendaki, yang setidaknya menjadi salah satu target penting dari peluncuran karikatur yang menggoreskan luka kaum muslimin di seantero dunia tersebut, yang dimuat secara luas pada beberapa media masa barat beberapa waktu yang lalu. karikatur ini sama sekali tidak memiliki kaitan dengan agama tertentu, yang senantiasa menyerukan kasih sayang perdamain dan persaudaraan. Nah, pemuatan karikataur ini tidak lain adalah serangkaian konsep busuk dari upaya memerangi persaudaraan dan kasih sayang di antara umat manusia

 

Tentang Imam Asy-Syafi`i

Nama lengkap beliau adalah Abu Abdullah Muhammad bin Idris. Beliau dilahirkan di Gaza, Palestina, tahun 150 H, dan ayahnya meninggal ketika masih bayi, sehingga beliau hanya dipelihara oleh ibunya yang berasal dari Qabilah Azad dari Yaman. Diwaktu kecil Imam Syafii hidup dalam kemiskinan dan penderitaan sebagai anak yatim dalam “dekapan” ibundanya . Oleh karena itu ibunya berpendapat agar sebaiknya beliau (yang ketika itu masih kecil) dipindahkan saja ke Makkah (untuk hidup bersama keluarga beliau disana). Maka ketika berusia 2 tahun beliau dibawa ibundanya pindah ke Makkah. Imam Syafi’i rahimahullah dilahirkan bertepatan dengan meninggalnya Imam Abu Hanifah oleh karena itu orang-orang berkata : “telah meninggal Imam dan lahirlah Imam”. Pada usia 7 tahun beliau telah menghafal Al Qur’an. Dan suatu sifat dari Imam Safi’i adalah, jika beliau melihat temannya diberi pelajaran oleh gurunya, maka pelajaran yang dipelajari oleh temannya itu dapat beliau pahami. Demikian pula jika ada orang yang membacakan buku dihadapan Imam Syafi’i, lalu beliau mendengarkannya, secara spontan beliau dapat menghafalnya. Sehingga kata gurunya : “Engkau tak perlu belajar lagi di sini (lantaran kecerdasan dan kemampuan beliau untuk menyerap dan menghafal ilmu dengan hanya mendengarkan saja)”. Setelah beberapa tahun di Makkah, Imam Syafi’i pergi ke tempat Bani Hudzail dengan tujuan untuk belajar kepada mereka. Bani Hudzail adalah Kabilah yang paling fasih dalam berbahasa Arab. Beliau tinggal di tempat Bani Hudzail selama 17 tahun. Ditempat ini beliau beliau banyak menghafal sya’ir-sya’ir, memahami secara mendalam sastra Arab dan berita-berita tentang peristiwa yang dialami oleh orang-orang Arab dahulu. Pada suatu hari beliau bertemu dengan Mas’ab bin Abdullah bin Zubair yang masih ada hubungan famili dengan beliau. Mas’ab bin Abdullah berkata : “Wahai Abu Abdullah (yaitu Imam Syafi’i), sungguh aku menyayangkanmu, engkau sungguh fasih dalam berbahasa Arab, otakmu juga cerdas, alangkah baiknya seandainya engkau menguasai ilmu Fiqih sebagai kepandaianmu.” Imam Syafi’i : “Dimana aku harus belajar?” Mas’ab bin Abdullah pun menjawab : “Pergilah ke Malik bin Anas”. Maka beliau pergi ke Madinah untuk menemui Imam Malik. Sesampainya di Madinah Imam Malik bertanya : “Siapa namamu?”. “Muhammad” jawabku. Imam Malik Berkata lagi : “Wahai Muhammad bertaqwalah kepada Allah dan jauhilah laranganNya maka engkau akan menjadi orang yang disegani di kemudian hari”. Esoknya beliau membaca al Muwaththa’ bersama Imam Malik tanpa melihat buku yang dipegangnya, maka beliau disuruh melanjutkan membaca, karena Imam Malik merasa kagum akan kefasihan beliau dalam membacanya. Al Muwaththa’ adalah kitab karangan Imam Malik yang dibawa beliau dari seorang temannya di Mekkah. Kitab tersebut beliau baca dan dalam waktu 9 hari, dan beliau telah menghafalnya.Beliau tinggal di Madinah sampai Imam Malik meninggal dunia, kemudian beliau pergi ke Yaman. Kunjungan Imam Syafi’i Keberbagai Tempat Sudah menjadi kebiasaan ulama’-ulama’ pada masa Imam Syafi’i yaitu berkunjung ke berbagai negeri untuk menimba ilmu di tempat tersebut. Mereka tidak perduli terhadap rintangan-rintangan yang akan mereka hadapi. Demikian pula Imam Syafi’i berkunjung ke berbagai tempat untuk menimba ilmu dengan sungguh-sungguh dan memperoleh manfaatnya. Sebagaimana yang telah diketahui tentang perjalanannya dari Mekkah ke Bani Hudzail, kemudian kembali ke Mekkah dan perjuangannya untuk menemui Imam Malik, dan setelah meninggalnya Imam Malik beliau pergi keYaman dan selanjutnya pergi ke Baghdad dan kembali ke Madinah , dan setelah itu kembali lagi ke Baghdad kemudian ke Mesir. Kunjungan-kunjungan itu menghasilkan banyak ilmu dan pengalaman baginya serta membuatnya gigih dalam menghadapi berbagai rintangan dalam membela kebenaran dan membela Sunnah Rasulullah saw. Sehingga namanya menjadi terkenal dan disegani umat Islam di zamannya. Imam Ahmad Bin Hambal berkata tentang gurunya Imam Syafi’i rahimahullah telah diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda : “Inna Allaha yub’astu lihadzihil ummah ‘ala ra’si kulla miati sanatin man yujaddidu laha diinaha” “Sesungguhnya Allah swt mengutus (mengirim) seseorang kepada umat ini setiap seratus tahun untuk memperbarui urusan agamanya”. (shahih sunan Abu daud hadits no : 4291) Kemudian Imam Ahmad bin Hambal menambahkan dengan berkata : “Umar bin Abdul Aziz adalah orang yang pertama dan mudah-mudahan Imam Syafi’i adalah yang kedua”. Ilmu Yang Dimiliki Oleh Imam Syafi’i rahimahullah Imam Syafii rahimahullah memiliki ilmu yang luas seperti yang dikatakan Ar Rabbii bin Sulaiman : “Setiap selesai shalat shubuh Imam Syafi’i selalu duduk dikelilingi orang-orang yang ingin bertanya tentang tafsir Al Qur’an. Dan seandainya matahari telah terbit, barulah orang-orang itu berdiri dan bergantian dengan orang-orang lain yang ingin bertanya juga tentang hadits, serta tafsirnya. Beberapa jam kemudian ganti orang-orang lain untuk bertanya-jawab. Dan sebelum waktu dhuhur mereka pergi disusul oleh orang-orang yang bertanya tentang nahwu, urudh dan syai’r sampai waktu dhuhur”. Mas’ab bin Abdullah Az Zubairi berkata : “Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih mengetahui peristiwa tentang orang-orang Arab dahulu seperti Imam Syafi’i”. Abu Isma’il At Tarmudzi juga berkata : “Aku perna mendengar Ishak bin Rahawih berceritra : “ketika kami berada di Makkah Imam Bin Hambal rahimahullah, berkata kepadaku : “Wahai abu Ya’kub belajarlah kepada orang ini ”Seraya memandang Imam Syafi’i””. Kemudian aku berkata : “Apa yang akan aku peroleh dari orang ini, sementara usianya hampir sama dengan kita? Apakah aku tidak merugi seandainya meninggalkan Ibnu Uyainah dan Mugni?”. Imam Ahmad pun menjawab : “Celaka engkau! Ilmu orang-orang itu dapat engaku tinggalkan tapi Ilmu orang ini tidak dapat”. Lalu aku belajar padanya. Imam Ahmad bin hambal menambahkan tentang Imam Syafi’I, adalah beliau orang yang paling paham (pengetahuannya) tentang Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw. Kesederhanaan Dan ketaatan Imam Syafi’i Pada Kebenaran Al Imam Syafi’i rahimahullah terkenal akan kesederhanaan dan (ketaatan) dalam menerima kebenaran. Hal ini telah dibuktikan dalam diskusi-diskusi dan tadarus-tadarusnya serta pergaulan murid-murid, teman-teman dan orang umum. Banyak orang yang telah meriwayatkan sifat-sifat yang telah dimilikioleh Imam Syafi’i yang seolah-olah sifat itu hanya dimiliki oleh beliau saja. Al Hasan bin Abdul Aziz Al Jarwi Al Masri (dia adalah Abu Ali Al Judzami, guru Syeikh Al Bukhari yang meninggal di Baghdad pada tahu 257 H) berkata : “As Syafi’i mengatakan : “tidak pernah terbesit dalam hatiku agar seseorang bersalah bila berdiskusi denganku, malah aku menginginkan agar semua ilmu yang kumiliki juga dimiliki oleh semua orang tanpa menyebut namaku””. Dan Ar Rabii berkata : “Ketika aku mengunjungi As Syafi’i sakit, beliau masih sempat menyebutkan buku-buku yang telah ditulisnya dan berkata : “Aku ingin semua orang membacanya tanpa mengkaitkanya dengan namaku””. Harmalah bin Yahya juga mengatakan : “Aku pernah mendengar As Syafi’i berkata : “Aku ingin setiap ilmu yang kumiliki, dimiliki oleh semua orang dan aku mendapatkan pahalanya tanpa ucapan terima kasih dari orang-orang itu”.” Beliau juga mengatakan demikian : “Idza wajadtum fii kitaabii khilafa sunnati rasulillahi sallallahu ‘alaihi wasallam, fakuuluu sunnati rasulillahi sallallahu ‘alaihi wasallam, wa da’uu ma kultu” “jika kalian mendapati dalam kitabku (suatu tulisan) yang menyelisihi sunnah Rasulullah saw , maka ambillah sunnah Rasulullah saw dan tinggalkan perkataanku. Dan beliau juga berkata : “Idza sohhal hadits fahuwa madzhabii” “jika hadits Nabi saw (derajatnya) shahih, maka itulah madhabku” “Kullu haditsin ‘anin nabi saw fahuwa kaulii, wain lam tasma’uu minni” “setiap hadits dari Nabi saw adalah pendapatku, walaupun kalian tidak pernah mendengarkan dariku” “Kullu maa kultu, fakaana ‘aninnabiyyi khilafu kaulii mimma yashihhu, fahadtsun nabiyyi awlaa, falaa tukalliduunii” “segala pendapat yang aku katakan ,sedangkan hadits Nabi saw yang shahih menyelisihi perkataanku, maka hadits Nabi saw lebih utama (untuk diikuti) , dan janganlah kalian taklid kepadaku”. Imam Syafi’i rahimahullah sendiri berkata : “Demi Allah aku belum pernah berdiskusi dengan seseorang kecuali dengan tujuan nasihat”. Seandainya aku menyampaikan tentang kebenaran kepada seseorang dengan bukti-bukti yang tepat, lalu diterima dengan baik, maka aku akan menjadi sayang dan akrab dengan orang tersebut. Sebaliknya jika orang tersebut sombong dan membantah bukti-bukti tadi, maka seketika itu juga orang tersebut jatuh dalam pandanganku”. Dan beliau juga berkata : “ketahuilah bahwa perbuatan yang terberat itu ada tiga : “Memiliki harta sedikit tetapi dermawan. Takut kepada Allah swtdalam kedaaan sepi, dan mengatakan kebenaran kepada orang yang diharapkan serta ditakuti banyak orang”. Ketaatannya Dan Ibadahnya Kepada Allah swt. Tentang ketaatan Imam Syafii dan ibadahnya kepada Allah, semua orang yang bergaul dengannya, guru maupun murid, tetangga maupun teman, semuanya mengakuinya. Ar Rabii bin Sulaiman mengatakan : “Imam Syafii telah mengkhatamkan Al Qur’an sebanyak 60 kali di bulan Ramadhan yang kesemuanya itu terbaca dalam shalatnya”. Dan Imam Syafii pernah berkata kepadaku : “Semenjak usia 16 tahun aku belum pernah merasa kenyang, kecuali hanya sekali saja. Karena kenyang itu memberatkan badan, mengeraskan hati dan dapat menghilangkan kecerdasan, mendatangkan rasa kantuk serta membuat malas seseorang untuk beribadah”. Rabii juga mengatakan bahwa Syafi’i membagi malam menjadi tiga bagian, bagian pertama untuk menulis, bagian kedua untuk shalat dan bagian ketiga untuk tidur. Kedermawanannya Imam Syafi’i rahimahullah terkenal dengan kedermawanannya. Hal ini tidak bisa dipungkiri atau diragukan lagi. Muhammad bin Abdullah Al Misri berkata : “Imam Syafii adalah orang yang paling dermawan terhadap apa yang dimilikinya”. Dan Amr bin Sawwad As Sarji berkata : “Imam Syafii adalah orang yang paling dermawan dalam hal keduniaan. Beliau pernah berkata kepadaku : “Aku pernah bangkrut sebanyak tiga kali dalam hidupku, sampai aku menjual semua barang-barang yang aku miliki, baik yang mahal maupun yang murah, juga perhiasan anak dan istriku tetapi aku belum pernah menggadaikannya””. Muhammad Al Busti As Sajastani juga mengatakan : “Imam Syafi’i rahimahullah belum pernah menyimpan sesuatu karena kedermawanannya”. Al Humaidi juga berkata tentang Syafi’i ketika beliau datang dari Makkah, Imam Syafii membawa uang sebanyak 10.000 dinar, kemudian bermukim di pinggiran kota Makkah, dan dibagi-bagikan uang itu kepada orang yang mengunjunginya. Dan ketika beliau meninggalkan tempat itu uangnya sudah habis. Ar Rabbii’ menambahkan tentang hal ini : “Seandainya Imam Syafi’i didatangi oleh seseorang untuk meminta kepadanya, maka wajahnya merah karena malu kepada orang tersebut, lalu dengan cepat dia akan memberinya”. Bukti-bukti tentang kedermawanan Imam Syafi’i rahimahullah banyak sekali dan tidak mungkin untuk mengungkapkannya di dalam lembaran yang pendek ini. Wafatnya Imam Syafi’i rahimahullah Di Mesir (Di Fisthath) Tahun 204 H Al Muzni berkata ketika aku mengunjungi beliau yang sakit yang tidak lama kemudian beliau meninggal, aku bertanya kepadanya bagaimana keadaanmu? Beliau menjawab : “Tidak lama lagi aku akan meninggalkan dunia ini, meninggalkan saudara-saudaraku dan akan menjumpai Allah swt. Aku tidak tahu apakah aku masuk surga atau neraka”. Kemudian beliau menangis dan mengucapkan sebuah sya’ir “Falamma kosaa kalbii wa dookot madzahidii ja’altu rajaai nahwa ‘afwika sullamaa” “ketika hatiku membeku dan menyempit semua jalan bagiku, aku jadikan harapanku sebagai tangga untuk menuju ampunanMu”. Rabii’ bin Sulaiman berkata : “Al Imam Syafi’i meningl dunia pada malam jum’at, sehabis isya’ akhir bulan Rajab. Kami menguburkannya pada hari jum’at, dan ketika kami meninggalkan pemakaman itu kami melihat bulan (hilal) Sya’ban 204”. Ar Rabbii’ bercerita : “Beberapa hari setelah berpulangnya Imam Syafi’i rahimahullah ke Rahmatullah dan ketika itu kami sedang duduk berkeliling seperti tatkala Imam Syafi’i masih hidup, datang seorang badui dan bertanya : “Dimana matahari dan bulan (yaitu Imam Syafi’i) yang selalu hadir di tengah-tengah kalian?” kami menjawab : “Beliau telah wafat” kemudian orang itu menangis tersedu-sedu seraya berkata : “Mudah-mudahan Allah mengampuni dosa-dosanya, sesungguhnya beliau dengan kata-kata yang indah telah membuka bukti-bukti yang dahulu tidak pernah kita ketahui. Dan mampu membuat bungkam musuh-musuhnya dengan bukti yang benar. Serta telah mencuci besih wajah-wajah yang menghitam karena aib dan membuka pintu-pintu yang dulu tertutup dengan pendapat-pendapatnya”. Setelah berucap kata-kata itu dia meninggalkan tempat itu”. Ibnu Khollikan (penulis buku Wafiati A’yan) berkata : “Seluruh ulama’ hadits, fiqhi, usul, lughah, nahwu dan lain-lain sepakat bahwa Al Imam Syafi’i rahimahullah adalah orang yang tidak diragukan lagi kejujurannya, amanatnya, adilnya, zuhudnya, taatnya, akhlaqnya, kedermawannya dan kewibawaannya dikalangan para ulama’”. Abu Hasan Al Razi berkata : “Aku belum pernah melihat Muhammad Al Hasan mengagungkan seorang ulama’ seperti dia mengagungkan Al Imam Syafi’i rahimahullah.”. Abdullah din Ahmad bin Hambal betanya kepada ayahnya : “Ayah, bagaimana Imam Syafi’i itu? Aku sering kali melihatmu mendoakannya”. Imam Ahmad bin hambal menjawab : “ketahuilah anakku, bahwa Imam Syafi’i itu ibarat matahari bagi dunia dan kesehatan bagi manusia. Seandainya keduanya itu tidak ada, bagaimana mungkin dapat digantikannya dengan yang lain?”. Maraji’: – Diwan Asy Syafi’i. – Tarikh Al Mudzahib Al Islamiyyah oleh Asy Syaikh Muhammad Abu Zuhroh. – Sifat Shalat Nabi saw karya Syaikh Muhammad Nashirudin Albani.

 

Tahajud : Obat Jasmani dan Rohani

 

“Dan pada sebagian malam bertahajjudlah dengannya sebagai tambahan bagimu mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji”. (Surat al-Isra’, ayat 79) Mengapa Allah menyuruh kita bangun ditengah malam untuk melaksanakan shalat tahajjud di tengah malam? Apa rahasia dibalik perintah Allah tersebut? Apakah betul orang-orang yang bertahajjud ditengah malam akan diangkat Allah ke tempat yang terpuji? Shalat Tahajjud, Stres dan Hormon Kortisol (Hormon Stres) Siapa bilang ajaran dalam agama Islam hanya dogma dan doktrin. DR. Muhammad Soleh, dosen IAIN Surabaya, telah mampu membantah pandangan tersebut melalui desertasi yang ia pertahankan sehingga mendapatkan gelar doktor dalam bidang ilmu kedokteran pada Program Pasca Sarjana Universitas Surabaya, dengan judul “Pengaruh shalat Tahajjud terhadap peningkatan perubahan respon ketahanan tubuh imunologik: Suatu Pendekatan Psikoneuroimunologi”, menyimpulkan jika Anda melakukan shalat tahajjud secara rutin, benar gerakannya, ikhlas dan khusyu’ niscaya Anda akan terbebas dari penyakit infeksi dan kanker. Desertasi ini melibatkan 41 responden siswa SMU Luqman Hakim Pondok Pesantren Hidayatullah, Surabaya. Dari 41 siswa, hanya 23 yang sanggup yang sanggup menjalankan shalat tahajjud selama satu bulan penuh. Setelah diuji lagi, tinggal 19 siswa yang bertahan shalat tahajjud selama dua bulan. Shalat tahjjud dimulai pukul 2.00-3.30 wib sebanyak 11 rakaat, dengan dua rakaat sebanyak 4 kali dan ditutup shalat witir sebanyak tiga rakaat. Dan selanjutnya hormon kortisol (hormon stres) dari 19 siswa tersebut diperiksa di tiga laboratorium di Surabaya (Pramitha, Prodia dan Klinika). Apa yang terjadi? Para siswa yang shalat tahajjud dengan rutin dan ikhlas berbeda dengan siswa yang tidak melaksanakan shalat tahajjud. Mereka yang melaksanakan shalat tahajjud tersebut memilki kadar hormon kortisol yang rendah. Hal ini menandakan mereka memiliki ketahanan tubuh yang kuat dan kemampuan individu yang tangguh sehingga mampu menanggulangi masalah-masalah sulit dengan lebih stabil. Hormon kortisol merupakan salah satu hormon stres. Kadar hormon ini semakin meninggi ketika kita dalam keadaan stres. Dengan kadar hormon yang meninggi kita lebih mudah berbuat salah, sulit berkonsentrasi dan daya ingat kita kurang baik. Hormon ini oleh pakar kesehatan dijadikan tolak ukur untuk tingkat/derajat stres seseorang. Makin stres seseorang maka hormon kortisol semakin meninggi dalam darahnya. Hormon kortisol memiliki kadar tertinggi di waktu tengah malam hingga di waktu pagi, terutama pagi-pagi sekali (normal di pagi hari berkisar 38-690 nmol/liter, sedangkan malam-nya 69-345 nmol/liter). Stres dan depresi menjadi penyakit yang lazim di zaman sekarang ini. Stres sebenarnya keadaan yang positif bagi kita jika digunakan dalam keadaan yang masih wajar. Jika berlebihan maka kadar hormon adrenalin dan hormon kortisol akan meningkat sehingga menganggu sistem kekebalan tubuh yang akhirnya kita mudah terkena infeksi, penyakit maag, asma, dan memperburuk penyakit degenaratif kronis (kanker, diabetes, rematik dan lain-lain). Dengan shalat tahajjud yang dilakukan secara rutin, ikhlas dan khusyu’akan mampu menciptakan karakter baru serta tangguh bagi pelaksananya, sehingga kita akan memiliki persepsi dan motivasi yang positip yang nantinya akan terhindar dari stres. Mungkin itulah maksud firman Allah pada surah Al-Isra’, ayat 79 diatas tentang diangkatnya para pelaksana shalat tahjjud ke tempat yang terpuji. Allahua’lam. Mengapa Harus Tengah Malam? Kata tahajjud terambil dari kata hujud yang berarti tidur. Kata tahajjud dipahami oleh al-Biqai dalam arti tinggalkan tidur untuk melakukan shalat. Shalat ini juga dinamakan Shalat Lail/Shalat Malam, karena ia dilaksanakan di waktu malam yang sama dengan waktu tidur. Shalat ini terdiri dari dua sampai dengan delapan rakaat. Apa rahasia bangun di tengah malam untuk shalat tahajjud? Hal ini telah dijawab Allah pada surat al-Muzzammil, ayat ke 6-7, berbunyi: “Sesungguhnya bangun di waktu malam, dia lebih berat dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. Sesungguhnya bagimu di siang hari kesibukan yang panjang.” Dari ayat tersebut ada dua hal yang begitu mengesankan kita. Pertama, sengaja untuk bangun malam. Kedua, bacaan di malam hari memilki efek dan dampak yang lebih mengesankan. Sengaja bangun malam hanya bisa dilakukan oleh orang memiliki niat yang kuat pula. Niat yang yang kuat pasti didorong oleh motivasi yang kuat, sehingga pekerjaan tersebut akan dilakukan dengan ikhlas dan bersungguh-sungguh. Shalat tahajjud dilakukan setelah tidur. Apa manfaatnnya pula? Bangun tidur pasti pikiran kita lebih fresh-segar. Bayangkan dalam satu hari, jantung kita berdetak sebanyak 100.000 kali, darah kita mengalir melalui 17 juta mil arteri, urat darah halus dan juga pembuluh-pembuluh darah. Tanpa kita sadari rata-rata sehari kita berbicara 4.000 kata, bernafas sebanyak 20.000 kali, menggerakkan otot-otot besar sebanyak 750 kali, dan mengopersikan 14 milyar sel otak. Manusia perlu istirahat. Dan tidur adalah istirahat yang sangat baik menurut ilmu kesehatan. Dengan tidur berarti terjadi proses pemulihan sel tubuh, penambahan kekuatan dan otak kita kembali berfungsi dengan sangat baik. Tak heran kalau Allah berkehendak agar shalat tahjjud dikerjakan setelah tidur. Kurang baik jika dilakukan langsung setelah kita begadang malam. Dengan pikiran yang fresh akan membantu kita untuk lebih khusyu’ memaknai ayat-ayat Allah yang kita baca. Bacaan di malam hari lebih mengesankan dibandingkan di siang hari, mengapa demikian? Pernahkan kita mengingat orang atau teman kita yang hobinya bermain break-breakan (orari). Mereka lebih senang akan memilih berkomunikasi di malam hari kira-kira mulai pukul 02.00-04.00 tengah malam. Kalau kita tanya kenapa mereka suka ngebreak di waktu tersebut, mereka menjawab suara yang dihasilkan di waktu itu lebih cukup bagus dan jernih, walaupun daya jangkaunya sangat jauh. Berbeda dengan siang hari suara breaker tidak begitu jelas banyak frekuensi lain yang menganggu. Ini menandakan bangun di tengah malam dan bershalat tahajjud sangat baik untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Dan komunikasi yag kita lakukan semuanya berbasis pada pancaran energi. Penulis punya pengalaman menarik terhadap seseorang yang berumur setengah baya ketika berbicara dalam sebuah forum, dimana tutur katanya begitu santun didengar, wajahnya penuh percaya diri dan enak untuk dipandang, memiliki karakter yang kuat untuk mempengaruhi orang yang berinteraksinya dengannya. Pada sebuah kesempatan penulis bertanya :”Apa kira-kira rahasia kelebihan yang saudara miliki selama ini?”. Ia menjawab dengan singkat dan santun,”Disiplinkan diri dengan bershalat tahajjud!”. Meditasi dan Tahjjud Meditasi berarti keheningan, diam dan kesendirian. Keheningan muncul apabila pikiran sadar kita telah berhenti sepenuhnya. Diam berarti berhentinya aktivitas fisik sedangkan kesendirian berati kita harus melakukanya sendiri tanpa bantuan, tuntutan, atau kehadiran orang lain. John Kehoe, penulis buku terlaris ‘Mind Power’ pernah melakukan tapa brata dengan menyingkirkan diri dari hiruk piruk dunia, kemudian menyepi didalam hutan untuk melakukan meditasi. Hal ini ia lakukan untuk menembus batas kesadaran tertinggi atau lapiasan terdalam pikiran bawah sadarnya melalui kesunyian dan pencarian diri. Banyak dari mereka melakukan metoda meditasi lewat relaksasi senam ringan, olah napas, pindah ketempat yang sunyi dengan menghidupkan kaset-kaset, CD pencerahan. Bahkan ada yang menggunakan aroma terapi wewangian, tak heran terlalu besar biaya yang dikeluarkan hanya untuk bermeditasi saja. Padahal Allah telah memberikan jalan alternatip ke kita pada 14 abad yang lalu untuk lebih dekat dengan-Nya lewat pelaksanaan shalat malam, karena shalat adalah salah satu bentuk meditasi. Selama ini kita terjebak pada belenggu diri kita sendiri yang menjadikan shalat sebagai kewajiban semata bukan sebuah kebutuhan, kalau tidak shalat akan masuk neraka, terkesan Tuhan yang membutuhkan kita. Ironis. Padahal untuk melakukan shalat tahjjud kita tak perlu ke hutan, mengasingkan diri, cukup bangun di tengah malam kemudian berwudu’ (bersuci) secara sederhana menurut rukun dan syaratnya. Tak perlu biaya mahal, hanya perlu tempat dan sajadah yang bersih. Kesimpulan Jika kita melaksanakan shalat tahajjud secara rutin, benar gerakannya, ikhlas dan khusyu’ akan memiliki daya tahan tubuh yang kuat, sehingga tidak mudah stres ketika menghadapi problematika kehidupan. Dengan shalat tahajjud pasti hati kita akan semakin lembut, jernih dan berenergi tinggi, sehingga bacaan shalat beserta hikmah-hikmah yang terkandung mengalir deras dalam relung-relung jiwa kita dan menjadi pelita hidup di kemudian hari. Semoga Allah mengangkat kita ke tempat yang terpuji