Hidup ini Perjuangan

Musim panas itu membuat kita berani , hujan itu menyegarkan, angin itu menguatkan , salju itu menggembirakan; yang dikatakan cuaca buruk itu sebenarnya tiada, yang ada hanya jenis-jenis cuaca baik yang berbeda saja. Dari pada sesuatu yang buruk itu sentiasa lahir sesuatu yang baik.Adalah penting sekali bagi kita untuk menyadari bahwa kita sepatutnya belajar meskipun dalam waktu bagus. Dan bagaimanakah kita boleh berbuat begitu? Dengan sekali-sekali merenungkan waktu-waktu sukar, ketika kita menderita, ketika kita murung, ketika segala-galanya seperti menantang kita ? karena hanya waktu-waktu sukar saja yang memberi pelajaran terbaik. Perjuangan memaksa kita bergerak meski kita cenderung menolak Dan ia membawa kita kesudahannya kepada kesadaran penuh bahwa kejayaan hanya akan tercapai melalui perjuangan. Tiada apa pun yang bernilai dalam hidup ini yang mungkin diperoleh tanpa perjuangan. Jikalau ia mudah diperoleh, sudah tentu semua orang akan mendapatkannya. Perjuangan hidup, penderitaan jiwa, dan siksaan itu semuanya perlu jika kita ingin menjadi unggul. Jadi janganlah memaki dan menyumpah serapah, tetapi sebaliknya fahamilah dan hargailah pengalaman-pengalaman tersebut ketika anda mengalaminya karena ia merupakan bagian dari pada penyempurnaan seorang manusia. Perjuangan hidup, dalam banyak hal, diperjuangkan secara mendaki keatas, dan menang tanpa pergelutan adalah hampir seperti menang tanpa kebanggaan. Jika tiada kesukaran, tidak akan ada kejayaan; jika tiada apa-apa yang dipergelutkan, tiada apa-apa jua yang akan tercapai. Kesukaran mungkin menggerunkan mereka yang lemah, tetapi memberi perangsang menyegarkan kepada orang yang tegas dan berani. Segala pengalaman hidup sebetulnya berperan untuk membuktikan bahwa rintangan yang menghalang kemajuan manusia mungkin, kebanyakannya, diatasi dengan perilaku baik, semangat yang jujur, kecerdasan, ketabahan, dan dengan tekad untuk mengatasi sebarang kesukaran. Jalan di depan masih panjang dan berliku, jangan bimbang perjalanan itu melelahkan dan menyakitkan. Jangan takut rebah/susah. Walaupun tindakan yang paling baik kita perlu lakukan adalah bangun kembali, tapi bangun kembali juga diperlukan kekuatan yang bukan sedikit. Janganlah bermuram… Isikanlah ruang waktu persahabatan yang ada dengan gurauan dan senyuman. Nanti bila berpisah, ada sesuatu yang manis untuk dikenangkan. Kelembutan adalah senjata memadamkan api kemarahan. Andai hidup merupakan puncak perpisahan, biarlah mati menyambungnya kembali. namun seandainya bila mati puncak perpisahan. biarlah hidup ini membawa arti yang nyata bagi kita

 

Menyerah Sebelum Kalah

Manusia sebagai salah satu makhluk Tuhan memang suatu perwujudan yang kompleks. Dengan potensi-potensi yang ia miliki, tentu saja membuat setiap individu pun memiliki kekhasan tersendiri. Bahkan ketika menghadapi suatu masalah. Respon yang dimiliki seseorang berbeda-beda tergantung dari beberapa hal, yaitu, pengalaman yang dia miliki, pengetahuan / innformasi yang ia ketahui serta persepsi subjekif yang seringkali mendominasi kepribadian.

Ketika seseorang menghadapi suatu masalah, pasti memiliki kecenderungan perilaku frustasi. Ini merupakan hal yang wajar sebab struktur kepribadian seseorang yang menurut teori Freud dibagi menjadi 3, yaitu Id, ego dan superego selalu membutuhkan keseimbangan agar menjadi pribadi yang sehat. Artinya tak ada yang mendominasi lebih di sini. Frustasi yang dialami manusia bisa menghasilkan frustasi personal dan impersonal. Frustasi personal yaitu frustasi yang disebabkan pemikiran-pemikiran negatif seorang individu itu sendiri tanpa ada campur tangan orang lain. sementara frustasi impersonal lebih disebabkan karena adanya pengaruh lingkungan sekitar yang memberi penilaian negatif terhadap diri seseorang. Kaitannya dengan frustasi, daya tahan seseorang terhadap frustasi juga menentukan seberapa besar tingkat kedewasaan seseorang. Daya tahan terhadap frustasi tidak boleh terlalu tinggi maupun terlalu rendah. Sebab daya tahan yang terlalu tinggi menyebabkan kecenderungan orang menjadi mudah menyerah terhadap situasi atau tak mau berusaha lebih, sementara daya tahan yang terlalu rendah juga akan menimbulkan efek negatif berupa perilaku-perilaku agresi yang membahayakan. Pada orang-orang tertentu dengan daya tahan yang terlalu tinggi, biasanya terjadi karena individu sudah terlalu jenuh dengan situasi. Ini juga ada hubungannya dengan teori pertukaran sosial,yaitu bahwa orang/individu cenderung untuk bertahan / tetap menjaga hubungan dengan individu lain jika individu itu dianggap ‘menguntungkan’ baginya dan ketika individu yang lain itu tak seperti yang ia harapkan maka ia secara langsung akan memilih mundur dan menyerah. Proses menyerah itu sendiri juga meupakan salah satu bentuk displacement, yaitu pengalihan dari satu objek ke objek kateksis (objek pendorong) yang lain yang dianggap bisa mereduksi suatu ketegangan.Ini merupakan salah satu bentuk mekanisme pertahanan diri.

 

Berfikir secara Mendalam

Banyak yang beranggapan bahwa untuk “berfikir secara mendalam”, seseorang perlu memegang kepala dengan kedua telapak tangannya, dan menyendiri di sebuah ruangan yang sunyi, jauh dari keramaian dan segala urusan yang ada. Sungguh, mereka telah menganggap “berfikir secara mendalam” sebagai sesuatu yang memberatkan dan menyusahkan. Mereka berkesimpulan bahwa pekerjaan ini hanyalah untuk kalangan “filosof”.

Padahal, sebagaimana telah disebutkan dalam pendahuluan, Allah mewajibkan manusia untuk berfikir secara mendalam atau merenung. Allah berfirman bahwa Al-Qur’an diturunkan kepada manusia untuk dipikirkan atau direnungkan: Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu, penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan (merenungkan) ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran” (QS. Shaad, 38: 29). Yang ditekankan di sini adalah bahwa setiap orang hendaknya berusaha secara ikhlas sekuat tenaga dalam meningkatkan kemampuan dan kedalaman berfikir. Sebaliknya, orang-orang yang tidak mau berusaha untuk berfikir mendalam akan terus-menerus hidup dalam kelalaian yang sangat. Kata kelalaian mengandung arti “ketidakpedulian (tetapi bukan melupakan), meninggalkan, dalam kekeliruan, tidak menghiraukan, dalam kecerobohan”. Kelalaian manusia yang tidak berfikir adalah akibat melupakan atau secara sengaja tidak menghiraukan tujuan penciptaan diri mereka serta kebenaran ajaran agama. Ini adalah jalan hidup yang sangat berbahaya yang dapat menghantarkan seseorang ke neraka. Berkenaan dengan hal tersebut, Allah memperingatkan manusia agar tidak termasuk dalam golongan orang-orang yang lalai: Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raaf, 7: 205) Dan berilah mereka peringatan tentang hari penyesalan, (yaitu) ketika segala perkara telah diputus. Dan mereka dalam kelalaian dan mereka tidak (pula) beriman.” (QS. Maryam, 19: 39) Dalam Al-Qur’an, Allah menyebutkan tentang mereka yang berfikir secara sadar, kemudian merenung dan pada akhirnya sampai kepada kebenaran yang menjadikan mereka takut kepada Allah. Sebaliknya, Allah juga menyatakan bahwa orang-orang yang mengikuti para pendahulu mereka secara taklid buta tanpa berfikir, ataupun hanya sekedar mengikuti kebiasaan yang ada, berada dalam kekeliruan. Ketika ditanya, para pengekor yang tidak mau berfikir tersebut akan menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang menjalankan agama dan beriman kepada Allah. Tetapi karena tidak berfikir, mereka sekedar melakukan ibadah dan aktifitas hidup tanpa disertai rasa takut kepada Allah. Mentalitas golongan ini sebagaimana digambarkan dalam Al-Qur’an: Katakanlah: “Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak ingat?” Katakanlah: “Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya ‘Arsy yang besar?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak bertakwa?” Katakanlah: “Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (adzab)-Nya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu (disihir)?” Sebenarnya Kami telah membawa kebenaran kepada mereka, dan sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta.” (QS. Al-Mu’minuun, 23: 84-90)

 

Islam dan Demokrasi

Banyak kalangan non-muslim (individual dan institusi) yang menilai bahwa tidak terdapat konflik antara Islam dan demokrasi dan mereka ingin melihat dunia Islam dapat membawa perubahan dan transformasi menuju demokrasi

Robin Wright, pakar Timur Tengah dan dunia Islam yang cukup terkenal menulis di Journal of Democracy (1996) bahwa Islam dan budaya Islam bukanlah penghalang bagi terjadinya modernitas politik. Peraih Nobel Gunnar Myrdal dalam karya magnum opus-nya Asian Drama mengidentifikasi seperangkat modernisasi ideal termasuk di dalamnya demokrasi. Berkenaan dengan agama secara umum dan Islam khususnya, dia mengatakan: Doktrin dasar dari agama-agama Hindu, Islam dan Budha tidaklah bertentangan dengan modernisasi. Sebagai contoh, doktrin Islam, dan relatif kurang eksplisit doktrin Budha, cukup maju untuk mendukung reformasi sejajar dengan idealisme modernisasi. Apabila demokrasi identik dengan egalitarianisme, maka Islam dan Budha dapat memberikan dukungan bagi salah satu idealisme modernisasi khususnya reformasi egalitarian. John O Voll dan John L Esposito, dua pakar yang menjembatani Barat dan Timur tidak sepakat atas pandangan bahwa Islam dan demokrasi tidak dapat ketemu. Menurut kedua pakar ini dalam khazanah Islam terkandung konsep yang memberikan fondasi bagi muslim kontemporer untuk mengembangkan program demokrasi Islam yang otentik. Dalam menjelaskan sejumlah miskonsepsi umum di Barat, Graham E Fuller (mantan Wakil Direktur National Intelligence Council di CIA) menulis di jurnal Foreign Affairs (April, 2002): “Kebanyakan peneliti Barat cenderung untuk melihat fenomena Islam politik seakan-akan ia sebuah kupu-kupu dalam kotak koleksi, ditangkap dan disimpan selamanya, atau seperti seperangkat teks baku yang mengatur sebuah jalan tunggal. Inilah mengapa sejumlah sarjana yang mengkaji literatur Islam utama mengklaim bahwa Islam tidak kompatibel dengan demokrasi. Seakan-akan ada agama lain yang secara literal membahas demokrasi”. Banyak kalangan sarjana Islam yang kembali mengkaji akar dan khazanah Islam dan secara meyakinkan berkesimpulan bahwa Islam dan demokrasi tidak hanya kompatibel; sebaliknya, asosiasi keduanya tak terhindarkan, karena sistem politik Islam adalah berdasarkan pada Syura (musyawarah). Khaled Abou el-Fadl, Ziauddin Sardar, Rachid Ghannoushi, Hasan Turabi, Khurshid Ahmad, Fathi Osman dan Shaikh Yusuf Qardawi serta sejumlah intelektual dan sarjana Islam lain yang bersusah payah berusaha mencari titik temu antara dunia Islam dan Barat menuju saling pengertian yang lebih baik berkenaan dengan hubungan antara Islam dan demokrasi. Karena, kebanyakan diskursus yang ada tampak terlalu tergantung dan terpancang pada label yang dipakai secara stereotipe oleh sejumlah kalangan. Menurut Merriam, Webster Dictionary, demokrasi dapat didefinisikan sebagai “pemerintahan oleh rakyat; khususnya, oleh mayoritas; pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi tetap pada rakyat dandilakukan oleh mereka baik langsung atau tidak langsung melalui sebuah sistem perwakilan yang biasanya dilakukan dengan cara mengadakan pemilu bebas yang diadakan secara periodik; rakyat umum khususnya untuk mengangkat sumber otoritas politik; tiadanya distingsi kelas atau privelese berdasarkan keturunan atau kesewenang-wenangan. Realitasnya adalah bahwa Islam tidak hanya kompatibel dengan aspek- aspek definisi atau gambaran demokrasi di atas, tetapi yang lebih penting lagi, aspek-aspek tersebut sangat esensial bagi Islam. Apabila kita dapat melepaskan diri dari ikatan label dan semantik, maka akan kita dapatkan bahwa pemerintahan Islam, apabila disaring dari semua aspek yang korelatif, memiliki setidaknya tiga unsure pokok, yang berdasarkan pada petunjuk dan visi Alquran di satu sisi dan preseden Nabi dan empat Khalifah sesudahnya (Khulafa al-Rasyidin) di sisi lain. Pertama, konstitusional. Pemerintahan Islam esensinya merupakan sebuah pemerintahan yang `’konstitusional”, di mana konstitusi mewakili kesepakatan rakyat (the governed) untuk diatur oleh sebuah kerangka hak dan kewajiban yang ditentukan dan disepakati. Bagi Muslim, sumber konstitusi adalah Alquran, Sunnah, dan lain-lain yang dianggap relevan, efektif dan tidak bertentangan dengan Islam. Tidak ada otoritas, kecuali rakyat, yang memiliki hak untuk membuang atau mengubah konstitusi. Dengan demikian, pemerintahan Islam tidak dapat berbentuk pemerintahan otokratik, monarki atau militer. Sistem pemerintahan semacam itu adalah pada dasarnya egalitarian, dan egalitarianisme merupakan salah satu ciri tipikal Islam. Secara luas diakui bahwa awal pemerintahan Islam di Madinah adalah berdasarkan kerangka fondasi konstitusional dan pluralistik yang juga melibatkan non-muslim. Kedua, partisipatoris. Sistem politik Islam adalah partisipatoris. Dari pembentukan struktur pemerintahan institusional sampai tahap implementasinya, sistem ini bersifat partisipatoris. Ini berarti bahwa kepemimpinan dan kebijakan akan dilakukan dengan basis partisipasi rakyat secara penuh melalui proses pemilihan populer. Umat Islam dapat memanfaatkan kreativitas mereka dengan berdasarkan petunjuk Islam dan preseden sebelumnya untuk melembagakan dan memperbaiki proses-proses itu. Aspek partisipatoris ini disebut proses Syura dalam Islam. Ketiga, akuntabilitas. Poin ini menjadi akibat wajar esensial bagi sistem konstitusional/partisipatoris. Kepemimpinan dan pemegang otoritas bertanggung jawab pada rakyat dalam kerangka Islam. Kerangka Islam di sini bermakna bahwa semua umat Islam secara teologis bertanggung jawab pada Allah dan wahyu-Nya. Sementara dalam tataran praksis akuntabilitas berkaitan dengan rakyat. Oleh karena itu, khalifah sebagai kepala negara bertanggung jawab pada dan berfungsi sebagai Khalifah al-Rasul (representatif rasul) dan Khalifah al-Muslimin (representatif umat Islam) sekaligus. Poin ini memerlukan kajian lebih lanjut karena adanya mispersepsi tentang kedaulatan (sovereignty): bahwa kedaulatan Islam adalah milik Tuhan (teokrasi) sedangkan kedaulatan dalam demokrasi adalah milik rakyat. Anggapan atau interpretasi ini jelas naif dan salah. Memang, Tuhan merupakan kedaulatan tertinggi atas kebenaran, tetapi Dia telah memberikan kebebasan dan tanggung jawab pada umat manusia di dunia. Tuhan memutuskan untuk tidak berfungsi sebagai Yang Berdaulat di dunia. Dia telah menganugerahi manusia dengan wahyu dan petunjuk esensial. Umat Islam diharapkan untuk membentuk diri dan berperilaku, secara individual dan kolektif, menurut petunjuk itu. Sekalipun esensinya petunjuk ini berdasarkan pada wahyu, tetapi interpretasi dan implementasinya adalah profan. Apakah akan memilih jalan ke surga atau neraka adalah murni keputusan manusia. Apakah akan memilih Islam atau keyakinan lain juga keputusan manusiawi. Apakah akan memilih untuk mengorganisir kehidupan kita berdasarkan pada Islam atau tidak juga terserah kita. Begitu juga, apakah umat Islam hendak memilih bentuk pemerintahan Islam atau sekuler. Tidak ada paksaan dalam agama. Apabila terjadi konflik antara masyarakat dan pemimpin, seperti mayoritas masyarakat tidak menginginkan sistem Islam, maka kalangan pimpinan tidak dapat memaksakan sesuatu yang tidak dikehendaki oleh masyarakat. Tidak ada paksaan atau tekanan dalam Islam. Karena tekanan dan paksaan tidak akan menghasilkan hasil yang diinginkan dan fondasi Islam tidak dapat didasarkan pada paksaan atau tekanan. Pada karakter fundamental yang didasarkan pada poin-poin di atas, tidak ada konflik antara demokrasi dan sistem politik Islam, kecuali bahwa dalam sistem politik Islam orang tidak dapat mengklaim dirinya Islami apabila tindak tanduknya bertentangan dengan Islam. Itulah mengapa umat Islam hendaknya tidak menganggap demokrasi dalam artian umum bertentangan dengan Islam; sebaliknya, umat harus menyambut sistem demokrasi. Seperti yang dikatakan oleh Dr Fathi Osman, salah satu intelektual muslim kontemporer terkemuka, `’demokrasi merupakan aplikasi terbaik dari Syura”Wallahu A`lam…

 

 

Pluralitas Gerakan Mahasiswa

Mempersoalkan perbedaan gerakan antara mahasiswa 1998 dan keseragaman visi kini. Jika gerakan mahasiswa 1998 satu visi; reformasi, maka tidak begitu dengan mahasiswa kini. “Mahasiswa memiliki agenda dan garis perjuangan yang berbeda dengan mahasiswa lainnya. Kini mahasiswa menghadapi pluralitas gerakan yang sangat besar” demikian yang terjadi dan mungkin juga keluhan banyak ahli dan aktivis.

Satu hal lagi yang sering kita tidak sadari, membayangkan sebuah hasil; hancurnya orde lama, tewasnya orba dan tegaknya reformasi, sebagai sebuah keseragaman visi. Padahal masalah visi dan garis perjuangan gerakan adalah masalah proses. Kita sama-sama tahu, saat reformasi meletus ada mahasiswa yang punya visi berbeda. Bahkan mungkin, dari dulu tidak ada gerakan yang visi dan garis perjuangannya seragam. Dengan begitu, kita tidak perlu menulis pluralitas gerakan sebagai sebuah hal yang harus kita hadapi, toh ia tidak bisa dielakkan. Justru mungkin kita selayaknya mensyukuri pluralitas yang ada. Klise, seperti yang diungkapkan kebanyakan, pluralitas menambah dinamisasi. Paling tidak, mahasiswa tidak menyoroti masalah dari satu sudut pandang semata. Akhirnya, proses peng-idealisasi-an mahasiswa baik penegasan fungsi dan peranan mahasiswa, selayaknya dikembalikan kepada masing-masing individu mahasiswa. Penggeneralisasian fungsi dan peranan mahasiswa hanya mengakibatkan definisi mahasiswa menjadi naif. Bahkan label agent of change, agent of modernization, penjaga reformasi dan kritis. Mungkin meminjam ungkapan Kant, hanya individu mahasiswa yang tahu, sehingga mereka yang berhak menentukan peran dan fungsinya. Jika begitu, jangan-jangan begitulah mahasiswa apa adanya. Jangan-jangan mereka telah mempertegas fungsi dan perannya. Lalu, fungsi dan peran apa lagi yang harus dipertegas?

Menggapai Kemenangan di Alam Jiwa

 

Prestasi dan kemenangan besar yang diraih kaum muslimin, tidak berdiri sendiri. Kemenangan kemenangan di medan pertempuran Badar, tabuk, penaklukan kotra Andalusia dan perang Zallaqah disangga oleh do’a para pemimpin dan orang-orang yang menyertainya.

Do’a yang dilantunkan dari jiwa-jiwa yang bersih, jiwa-jiwa yang telah memperoleh kemenangannya. Jiwa yang telah melanglang buana dilangit kenikmatan dan kelezatan iman dan tawakal kepada Rabbnya.

Perjalanan panjang sejarah membuktikan. Bahwa para pemimpin besar yang lahir dari rahim Islam adalah orang-orang yang terlebih dahulu telah menggapai kemenangan dialam jiwa, sebelum kemenangan dan prestasi besar lainnya berujud nyata.

Sebutlah Abu Bakar Shiddiq radhiallahu ‘anhu dan kenikmatannya hidup bersama Al-Qur’an, airmatanya berurai penuh harap dan takut kepada Allah, sampai dikedua pipinya tergurat garis aliran airmata.

Ungkapan Sa’d bin Mu’azd pada Rasulullah SAW menjelang detik-detik perang badar :”Demi yang mengutus engkau dengan kebenaran, andaikata engkau bersama kami terhalang lautan lalu engkau terjun kedalam lautan itu, kamipun akan terjun bersama engkau. Tak satupun diantara kami yang akan mundur…”, menyiratkan kerinduan jiwanya untuk membela kekasihnya.

Itulah goresan tinta emas sejarah. Dibalik semua itu menyisakan sebuah tanda tanya, bagaimana para “khairu ummah” tersebut menggapai kemenangan dialam jiwanya?.

Prestasi dan kemenangan-kemenangan besar diatas terjadi dibulan ramadhan, disaat kaum muslimin berpuasa. Perang badar kubro terjadi pada tanggal 17 ramadhan tahun kedua hijriyah. Shalahuddin al-ayyubi mengusir pasukan salib dari tanah Palestina dalam perang Hittin juga terjadi pada bulan Ramadhan. Muhammad Al-Fatih Murad melakukan puasa sunnah tiga hari berturut-turut sebelum merebut konstantinopel.

Rahasianya: mereka adalah para alumni teladan dari madrasah Ramadhan. Bulan Ramadhan telah menjadi kamp pelatihan dan penempaan jiwa-jiwa mereka, dengan keimanan yang tanpa batas kepada Allah, tekad baja yang tak terkalahkan dalam menegakkan kebenaran. Puasa melahirkan manusia-manusia pilihan.

Saatnya kita mengaca diri didepan cermin bening mentauladani mereka, menengok kembali amaliyah mereka dalam bulan mulia. Sebagai benteng untuk bulan-bulan berikutnya.

Banyak hal yang dapat kita tauladani, diantaranya adalah:

Membaca dan memahami Al-Qur’an.
Nikmatnya hidup dibawah naungan Al-Qur’an mengisi hari-hari mereka dalam puasa, Imam Syafe’i rahimahullah dalam siyar ‘alam nubala disebutkan, bahwa ia menamatkan Al-Qur’an sebanyak 60 kali dalam bulan ramadhan.

Qiyamullail
Imam Al-Baihaqi dalam kitabnya “Alkubro” mengatakan bahwa Umar bin Khattab memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Daary mengimami sholat yang panjangnya sampai 200 ayat, sampai-sampai mereka memakai tongkat untuk menopang tubuh mereka, karena lamanya sholat.

Kedermawanan
Dalam shahih Bukhari, Ibnu ‘Abbas meriwayatkan bahwa bahwa Rasulullah adalah orang yang paling dermawan, terlebih pada bulan Ramadhan.
Dalam Lathaif Al-Ma’arif halaman 315 disebutkan bahwa Ibnu Umar, selalu berbuka bersama orang-orang miskin. Bila ia terhalang melakukannya, ia tidak mau makan malam itu, sampai datang pengemis dan memberikan jatah makannya pada pengemis itu, sehingga seringkali ia puasa tanpa makan apa-apa malam harinya.

Menyedikitkan makan.
Muhammad bin’Amru Al-Ghazzy merasa cukup makan dua suap, sebagaimana disebutkan dalam siyar ‘Alam Nubala’ 11/464.

Menjaga lidah, sedikit bicara dan menjauhi dusta.
Rasulullah sabdakan: “man lam yada’qaulaz zuury wal ‘amala bihi falaisa lillahi hajatun fi an yada’ ta’aamahu wa syarabahu”
“Orang puasa yang tidak meninggalkan pembicaraan buruk, berkata-kata kotor, akan menjadikan puasanya sia-sia.
Inilah sebagian cuplikan amaliyah generasi pilihan yang menempa jiwa-jiwa mereka menggapai kemenangan hakiki. Karena perang sesungguhnya adalah perang melawan diri, hawa nafsu. Puasa adalah benteng utamanya.

Semoga Ramadhan ini menempa dan mensucikan jiwa-jiwa kita menghadapi angkara nafsu. Menggapai kemenangan jiwa, kemenangan sejati..

 

Macam Macam Syirik

Para ulama berbeda pendapat dalam mengungkapkan pembagian syirik meski intinya tidak terlepas dari tiga penggunaan kata syirik yang telah dibahas di atas. Namun pembagian yang merangkum semuanya bisa kita katakan bahwa syirik terbagi menjadi dua:

1. Syirik Akbar.

Syirik ini terbagi menjadi dua:

1) Syirik yang berkaitan dengan dzat Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa atau syirik dalam rububiyah Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa.
Syirik ini terbagi lagi menjadi dua:

Syirik dalam ta’thil, seperti syirik yang dilakukan oleh Fir’aun dan orang-orang atheis.
Syirik yang dilakukan oleh orang yang menjadikan sembahan lain selain Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa tetapi tidak menafikan asma (nama-nama), sifat-sifat dan rububiyah Nya, seperti syirik yang dilakukan oleh orang-orang Nashrani yang menjadikan Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa sebagai salah satu dari tiga Tuhan (trinitas).
2) Syirik yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa atau syirik dalam uluhiyyah.
Syirik ini ada empat jenis:

Syirik dalam berdo’a; yaitu berdo’a kepada selain Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa.
Syirik dalam niat, keinginan dan kehendak. Beramal karena ditujukan kepada selain Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa menyebabkan pahalanya hilang.
Syirik dalam keta’atan; yaitu seorang hamba taat kepada makhluk dalam perbuatan ma’shiyat kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa.
Syirik dalam mahabbah; yaitu seorang hamba mencintai makhluk seperti cintanya kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa.
2. Syirik Ashghar.

Syirik Ashghar terbagi menjadi dua:

1) Yang Zhahir (tampak); mengerjakan amal dengan riya`.
Melakukan perbuatan untuk selain Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa yang zhahir (tampak)nya untuk Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa, tetapi dalam hatinya tidak ikhlas karena Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa.
dengan ucapan, seperti bersumpah dengan selain Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa, perkataan: Ma Syaa Allah wa Syi`ta.

2) Yang Khafiyy (samar);

Yaitu sesuatu yang kadang-kadang, terjadi dalam perkataan atau perbuatan manusia tanpa ia sadari bahwa itu adalah syirik. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Ibnu Abbas -radliyallaahu ‘anhuma- bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Syirik bagi umatku lebih halus (samar) dari pada barjalannya semut di atas batu yang licin (hitam).” (Hadits ini dishahihkan oleh Syekh Al Albani dalam Shahih Al Jami’ Ash Shaghir, hadits no 3730 dan 3731)

Karena begitu halusnya syirik ini sehingga para sahabat bertanya pada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bagaimana caranya terhindar dari syirik ini? Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Katakanlah (Bacalah) oleh kalian semua

“Ya Allah, kami berlindung kepada Mu dari perbuatan (kami) menyekutukan Mu dengan sesuatu yang kami ketahui dan kami memohon ampunan kepada Mu dari sesuatu yang tidak kami ketahui.” (HR Imam Ahmad 4/403 dan Ath Thabrani dalam Mu’jam Kabir dan Ausathnya sebagaimana dikatakan oleh Al Haitsami 10/223-224. Al Haitsami mengatakan: Rawi-rawinya Imam Ahmad adalah rawi-rawi shahih selain Abu Ali dan ia dianggap tsiqah oleh Ibnu Hibban).

Agar Dakwah Tidak Terputus

Dakwah ibarat tangga. Jika terputus, tak mungkin tujuan tercapai. Bahkan, jika jenjang terputusnya lama, tak mustahil menyebabkan kejatuhan. Di tengah kesibukan kuliahnya, Tika (bukan nama sebenarnya) masih sempat memberikan privat membaca al-Qur’an pada sebuah keluarga yang terbilang cukup kaya. Karena kegigihan dakwahnya yang luar biasa, Tika tak hanya berhasil membuat seisi keluarga itu mampu baca tulis al-Qur’an, tapi juga memberikan pencerahan wawasan keislaman yang baik. Ibu dan seorang putrinya dari keluarga, kini telah menutup aurat dan berjilbab dengan rapi. Tika menganggap tugasnya selesai. Ia ‘tinggalkan’ keluarga tersebut tanpa meninggalkan jalinan hubungan sama sekali. Beberapa tahun kemudian, ia mendapat berita. Gadis kecil yang dulu masih duduk di bangku SD dan dulu pernah ia “jilbabi”, kini sudah duduk di bangku kuliah. Tapi jilbab yang dulu membungkus rapi rambutnya, kini sudah melayang dihembus angin entah ke mana. Keteduhan yang dulu menjadi ciri khasnya, kini berubah. Sebuah kesalahan besar telah ia lakukan. Dakwahnya yang ia jalin beRtahun-tahun burai. Penyebabnya, kelalaiannya sendiri yang meninggalkan keluarga itu tanpa ada ikatan hubungan setelahnya. Dakwahnya terputus! Fenomena seperti ini, tak sedikit menjangkiti juru dakwah. Sebagian mereka beranggapan, ketika sang mad’u (obyek dakwah) sudah tertarik dengan dakwahnya, tugas dirasa sudah selesai. Ia mengira keimanan seseorang itu stabil. Padahal, seperti diisyaratkan Rasulullah saw bahwa iman itu bisa bertambah dan berkurang. Ketika keimanan sedang berkurang, dan bujukan kejahatan datang menerpa, tak sedikit yang tidak mampu bertahan. Bahkan, fenomena melemahnya iman ini, juga dialami para sahabat, generasi terbaik alumnus madrasah Rasulullah saw. Kasus “tertinggalnya” tiga sahabat yang tidak ikut perang Tabuk, merupakan salah satu contohnya. Begitupun peristiwa Hathib bin Abi Balthaah yang “membocorkan” rahasia rencana kedatangan Rasulullah saw ke Makkah. Namun, kadar melemahnya iman para sahabat, tentu tak bisa disamakan dengan tingkat keimanan kaum Muslimin saat ini. Ketika mengetahui kekeliruannya, Kaab bin Malik dan kedua temannya yang tidak ikut perang Tabuk, langsung mendapat “hukuman” tidak diajak bicara selama lima puluh hari. Mereka pun langsung bertaubat. Begitu pun Hathib bin Abi Balthaah. Begitu menyadari kekeliruannya, dengan penuh penyesalan ia langsung bertaubat dan berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya. Jika kita buka lembaran sejarah, dakwah yang disampaikan Rasulullah saw selalu berkesinambungan. Beliau tak pernah membiarkan para sahabatnya “terlantar” tak mengenyam nikmatnya dakwah. Ketika ada yang baru masuk Islam, Rasulullah saw langsung menyuruh para sahabatnya untuk mengajarkan Islam. Ada beberapa hal yang menyebabkan terputusnya dakwah. Di antaranya, futur (lemahnya iman). Seperti layaknya manusia lainnya, dai pun tak luput dari fenomena lemah iman. Dai yang tadinya selalu mengisi hari-harinya dengan aktivitas dakwah, tiba-tiba melemah. Kediamannya yang biasanya diramaikan oleh kajian-kajian dakwah tiba-tiba sepi. Yang terdengar justru alunan musik dan acara-acara televisi yang jauh dari nilai-nilai Islam. Kesibukan kerja dan rutinitas harian, turut melalaikan dakwahnya. Semua gejala melemahnya iman ini merupakan faktor utama terputusnya dakwah. Tak jarang, karena faktor tersebut, umat yang semula mulai tersentuh dakwah, kembali ke era jahiliyahnya. Jilbab yang semula mulai menutup auratnya kembali melayang akibat kurangnya pemantauan. Selain itu, kesalahan dalam memahami makna uzlah (mengasingkan diri), juga menjadi faktor terputusnya dakwah. Melihat hancurnya masyarakat dan rusaknya moral mereka, tak sedikit di antara dai yang justru patah semangat. Karena merasa tak sanggup memperbaikan keadaan, mereka memilih mengasingkan diri dan menjauhi hiruk pikuk “dunia”. Memang ada hadits yang menegaskan tentang anjuran uzlah. Di antaranya seperti yang diriwayatkan oleh Muslim, “Akan datang suatu saat, sebaik-baik harta seseorang adalah kambing yang dibawa ke puncak gunung dan tempat-tempat turunnya hujan. Ia menghindar dari fitnah dan membawa agamanya,” (HR Muslim). Namun, anjuran untuk mengasingkan diri ini tidak boleh diterjemahkan mentah-mentah. Sebab, sangat banyak ayat al Qur’an yang justru memerintahkan untuk melebur dan bergabung membentuk kelompok bersama kaum muslimin. Allah SWT berfirman, “Dan berpegang teguhlah kamu kepada tali (agama) Allah, dan janganlah bercerai-berai,” (QS Ali Imran: 103) Dalam ayat lain Allah menyatakan, “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan Allah, seolah-olah mereka itu adalah sebuah bangunan yang kokoh,” (QS ash-Shaf: 4). Lebih tegas lagi Rasulullah saw menyatakan, “Jauhilah bercerai-berai, hendaklah kalian berjamaah. Sesungguhnya setan akan menyertai orang yang sendirian dan akan menjauh dari dua orang. Siapa yang ingin masuk ke taman surga, hendaklah ia berjamaah,” (HR Turmudzi). Jadi, hakikat uzlah harus dipahami secara benar. Sehingga, tidak kontraproduktif dan menjadi penyebab terputusnya dakwah. Kita dapat bayangkan, jika para dai menganggap uzlah adalah solusi mengatasi masalah, tak ada lagi yang akan berdakwah. Masing-masing sibuk dengan dirinya sendiri. Selanjutnya, larut dalam pencarian harta dan perburuan jabatan bisa juga menyebabkan terputusnya dakwah. Harta dan jabatan adalah dua sejoli yang selalu menjadi perburuan. Bagi juru dakwah yang sudah terjebak pada perburuan ini, sering tak bisa membagi waktu. Hari-harinya dipenuhi dengan kesibukan duniawi sedangkan dakwahnya terabaikan. Cinta dunia merupakan salah satu penyebab timbulnya perlombaan mencari harta. Jika cinta dunia sudah bersarang di hati manusia, akan mendorongnya untuk merengkuh harta dan jabatan sebanyak-banyaknya tanpa merasa kenyang. Rasulullah saw bersabda, “Jika manusia memiliki dua lembah harta kekayaan, dia akan menginginkan lembah ketiga. Perut manusia tidak akan pernah merasa penuh kecuali dengan tanah. Allah akan menerima taubat orang yang ingin bertaubat,” (HR Bukhari dan Muslim). Kesibukan memburu harta dan singgasana menyebabkan tersitanya waktu mengkaji agama. Pentingnya mengikuti kajian keagamaan bukan semata untuk menambah ilmu, tapi untuk saling mengingatkan. Selain itu, rendah diri dan merasa tidak mampu bisa juga menjadi sebab terputusnya dakwah. Tidak sedikit para dai yang meninggalkan panggung dakwah lantaran merasa dirinya rendah dan tak mampu berbuat apa-apa. Ia khawatir ketika mengikuti kajian-kajian keagamaan, dirinya akan dihina dan tidak dihormati. Akibatnya, ia juga takut mengatakan yang hak itu benar dan yang batil itu salah. Rasulullah saw bersabda, “Janganlah salah seorang di antara kamu menghinakan dirinya.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah saw, apa yang dimaksud dengan seseorang menghinakan dirinya?” Beliau bersabda, “Dia melihat suatu urusan Allah yang wajib dikatakan, tapi tidak ia sampaikan. Pada hari kiamat, Allah akan bertanya pada orang itu, ‘Apa yang menghalangimu untuk mengatakan itu?’ Dia menjawab, ‘Karena takut kepada manusia.’ Allah berfirman, ‘Akulah yang paling berhak kamu takuti,’” (HR Ibnu Majah). Namun demikian, bukan berarti dakwah bisa dilaksanakan begitu saja. Dakwah tak hanya butuh semangat. Kalau semangat diibaratkan bahan bakar, maka ilmu adalah kendalinya. Dengan ilmu segalanya diarahkan. Dakwah tanpa ilmu ibarat kendaraan tanpa setir. Dakwah tanpa semangat ibarat mobil tanpa bensin. Semangat dan ilmu adalah dua hal yang mesti dimiliki seorang dai. Jika tidak hati-hati, semangat tanpa ilmu bisa berdampak negatif. Fenomena yang akhir-akhir ini menyudutkan umat Islam, tak lepas dari kesalahan mengelola semangat. Tak sedikit di antara aktivis Islam yang mempunyai semangat luar biasa, dimanfaatkan musuh untuk mencemarkan nama baik umat Islam sendiri. Dengan memperhatikan faktor-faktor penyebab terputusnya dakwah itu, para da`i akan memiliki kesadaran. Bahwa, dakwah tak mengenal istilah “istirahat” apalagi “henti”. Ia harus terus berjalan, berputar dan bergerak seiring hembusan napas. Ia tak boleh berhenti sedetik pun sampai maut menjemput ajal

 

Adab Bermusyawatah

Di bawah ini ada beberapa catatan adab bermusyawarah :

  1. Niat ikhlas Awal dari segalanya adalah niat. Pun demikian dalam bermusyawarah. Niatkan bahwa apa yang akan dilakukannya untuk kemaslahatan, dan karena Allah saja. “Tidaklah iman seseorang itu menjadi lurus hingga lurus hatinya. Tidaklah lurus hatinya hingga lurus lisannya.” (HR Ahmad) Mulai dari kanan Pekerjaan sederhana yang kerap terlewatkan adalah memohon izin dan bimbingan Allah dengan bacaan basmallah.
  2. Setelah itu, mulailah giliran mengemukakan pendapat yang dimulai dari sebelah kanan. Berikan kesempatan mengemukakan pendapat secara adil kepada masing-masing musyawirin (peserta musyawarah) sehingga tidak ada di antara mereka yang terkurangi hak-haknya. Kendalikan Lisan Lidah tidak bertulang, demikian kata orang. Oleh sebab itu, sebelum bicara pikirkanlah secara matang, kendalikan lisan, apakah pendapat yang akan dikemukakan membawa manfaat atau justru melahirkan kemudharatan. Bila pendapat kita tidak diterima, ucapkanlah hamdallah. Sebaliknya, bila diterima, ucapkanlah istighfar `Astaghfirullah hal adzim’. Sebab, bila pun pendapat kita benar, berarti kita telah menunaikan kewajiban, dan bila salah kita terlepas dari bahaya. Bila didapati pembicara yang ngomong keluar dari konteks bahasan, ingatkanlah dengan subhanallah. Dan apabila orang mengemukakan pendapat, dengarkanlah dengan penuh perhatian.
  3. Jangan sama sekali memotong pembicaraan orang lain sebelum tuntas. Berdoalah agar Allah meneteskan hidayahnya pada forum musyawarah itu dengan memperbanyak dzikir dan shalawat (QS Al-Ahzab: 41-42 dan 56).
  4. Jangan Berfatwa Tanpa Ilmu Allah Swt berfirman: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, pengetahuan, dan hati semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” ( QS Al-Isra’: 36) Begitupun, jangan membantah argumentasi orang lain tanpa mempelajari permasalahannya. Barangsiapa tidak tahu, tidak patut baginya memberi koreksi kepada orang yang tahu.
  5. Janganlah bersikap fanatik terhadap suatu pendapat yang tanpa disadari pemahaman, petunjuk, dan bukti. Imam Malik pernah ditanya, dan menjawab: “Saya tidak tahu.” Ia menjauh dari berfatwa tanpa ilmu. Allah Maha Pengasih kepada siapa saja yang memahami kadar kemampuan dirinya.
  6. Jangan Mendominasi .Janganlah mendominasi pembicaraan hanya karena ingin dikenal pandai bicara dan luas wawasan. Mendominasi pembicaraan bukanlah tanda keluasan wawasan seseorang, tetapi ketamakan. “Dan sesungguhnya orang yang paling Aku benci dan paling jauh majelisnya dari-Ku pada hari kiamat adalah orang-orang yang berlebihan dalam bicara, yang suka mengungguli orang lain dengan perkataannya dan yang menunjuk-nunjukkan mulut besarnya dengan omongan untuk menampakkan kelebihan di hadapan orang lain.” (HR Ahmad dan Tirmidzi)
  7. Rendah Hati Bila kita mengetahui ada orang yang lebih berkompeten dan lebih ahli, lebih baik kita mendengar darinya daripada berbicara. Ingat pesan Hasan bin Ali ra kepada anaknya: “Wahai anakku, jika engkau mengikuti pembicaraan ulama, hendaknya engkau lebih banyak mendengar daripada berbicara. Belajarlah menjadi pendengar yang baik sebagaimana engkau menjadi pembicara yang baik. Dan janganlah memotong pembicaraan meskipun panjang lebar, hingga ia enyelesaikannya sendiri.” Tidak (selalu) Suara Terbanyak Kebenaran tidak selalu dapat diukur dari suara terbanyak. Apalagi bila hal itu menyangkut keahlian. Karena itu pendapat seorang yang ahli tidak bisa dikalahkan oleh peserta lain yang banyak, yang sesungguhnya tidak berkompeten terhadap hal itu. Ini bukan diskriminasi. Bukankah pendapat seorang dokter-dokter tentang hal ihwal penyakit seorang pasien tidak bisa dianulir oleh pendapat para jururawat atau seluruh pegawainya meskipun mereka semua unjuk gigi tidak sependapat? Rasulullah saw pernah bersabda, bahwa bila urusan diserahkan pada yang bukan ahlinya, tunggulah kehancurannya. Hindari Permusuhan Terkadang suasana musyawarah memanas oleh perdebatan dan perbedaan faham. Bila sudah demikian, berhati-hatilah dengan tipu daya iblis yang membisikkan seolah-olah kita berbicara kebenaran, padahal sesungguhnya nafsu. “Sesungguhnya, larangan yang pertama ditujukan kepadaku setelah penyembahan berhala adalah perdebatan (yang dibarengi dengan permusuhan).” (HR Imam Bazar dan Thabrani dengan sanad lemah). Bukan `Pembantaian’ Tidak jarang musyawarah menjadi ajang `pembantaian’ bagi orang lain. Seolah-olah musyawarah itu kesempatan membuka kelemahan orang lain, di hadapan orang banyak. Hal ini sangat tidak sesuai dengan akhlaq Islam. Hindarilah sikap melampaui batas; membuka aib dan merendahkan sesama Muslim (QS 49: 11-12). Memahami Perbedaan Perbedaan pendapat bukanlah persoalan yang membahayakan, jika didasari keikhlasan dan diterima dengan lapang dada, sikap toleran, dan kasih sayang. Imam Abu Hanifah berkata: “Pendapat kami benar, namun memiliki kemungkinan salah, dan pendapat orang lain salah namun memiliki kemungkinan benar.” Tidak perlu khawatir, terimalah hasil musyawarah yang mungkin berbeda dengan pendapat kita, karena Rasulullah memberi jaminan: Bila ijtihad kita benar, kita akan dapat dua pahala. Sebaliknya, bila salah, (juga) tetap akan dapat satu pahala. Tutup dengan Istighfar Setelah tahap-tahap musyawarah dianggap selesai, agar majelis kita tidak bernilai laghah (sia-sia), tutuplah kegiatan majelis tersebut dengan memohon ampun kepada Allah Swt dengan doa majelis, “Subhanakalahuhumma rabbana wabihamdika asyahadu alla ilaha illa anta ashtaghfiruka wa atuubu ilaik” mungkin ada keteledoran, kegegabahan, atau kealpaan yang dilakukan pada saat berlangsung musyawarah. Wallahua’lam bishshowab!

Amerika dan Demokrasi

Demokrasi adalah sebuah proses, tapi oleh para elit yang memiliki kekuatan dimanipulasi menjadi cara untuk mencapai tujuan. Bush terpilih sebagai presiden setelah meredam demokrasi di Florida selanjutnya memperalat Mahkamah Agung untuk membatalkan demokrasi. Bush kembali terpilih dengan melumpuhkan demokrasi di Ohio dan beberapa tempat lainnya, kemudian tanpa rasa bersalah membohongi dan mencurangi rakyat Amerika, yang ternyata sangat senang dicurangi. Ini membuktikan bahwa demokrasi Amerika bukan hanya sekedar barang dagangan tapi juga dibuat tak berdaya oleh plutokrat cerdik, korup, dan gila kuasa

Orang mungkin akan sangat terkagum-kagum ketika George W. Bush atau Condoleeza Rice mengatakan “kebebasan sedang bergerak” merambah dunia, dan menyimpulkan bahwa pemerintah Amerika menyebarkan kebebasan dan demokrasi. Padahal pemerintah Amerika saat ini hanya menyebarkan kepentingan mereka sendiri, bahkan bukan untuk kepentingan rakyat Amerika! Kalau Amerika benar-benar menerapkan demokrasi, maka pemerintah saat ini tidak akan pernah dapat berkuasa.

Demokrasi adalah sebuah proses, tapi oleh para elit yang memiliki kekuatan dimanipulasi menjadi cara untuk mencapai tujuan. Bush terpilih sebagai presiden setelah meredam demokrasi di Florida selanjutnya memperalat Mahkamah Agung untuk membatalkan demokrasi. Bush kembali terpilih dengan melumpuhkan demokrasi di Ohio dan beberapa tempat lainnya, kemudian tanpa rasa bersalah membohongi dan mencurangi rakyat Amerika, yang ternyata sangat senang dicurangi. Ini membuktikan bahwa demokrasi Amerika bukan hanya sekedar barang dagangan tapi juga dibuat tak berdaya oleh plutokrat cerdik, korup, dan gila kuasa. Di Amerika, demokrasi hanya diakui jika hasilnya sesuai dengan yang diinginkan.

Dan Amerika memandang dunia dengan cara yang persis sama. Menurut Bush, di Iran perlu ada demokrasi, tapi hanya jika demokrasi Iran menghasilkan rezim yang menguntungkan kepentingan Amerika. Jika demokrasi Iran menghasilkan rejim yang anti-Amerika, sesuai dengan kehendak rakyat Iran, maka demokrasi Iran menurut pemerintah Amerika belum dianggap demokrasi.

Menurut pemerintah Amerika, Irak juga perlu demokrasi. Tapi bukan sembarang demokrasi. Irak membutuhkan demokrasi dengan pemerintahan terpilih ditentukan oleh Otoritas Koalisi pimpinan Amerika, otoritas yang menetapkan siapa saja kandidatnya dan memastikan suara dihitung di bawah kendali Amerika. Ide demokrasi Irak menurut Amerika adalah demokrasi yang mempersilahkan perusahaan Amerika menguasai dan mengeruk ekonomi dan kekayaan Irak. Demokrasi Irak yang sesuai dengan kebutuhan rakyak Irak dan menolak campur tangan Amerika tidak akan pernah dipandang sebagai demokrasi yang diakui Amerika.

Pemerintah Amerika yang berkuasa saat ini menggunakan demokrasi dengan cara yang paling kasar dengan tujuan mengakomodasi kepentingannya sendiri. Demokrasi Amerika memalukan dan selalu ingin mencampuri urusan negara lain, sementara melanggar prinsip-prinsip yang mereka sebut-sebut di manapun bahkan di dalam negeri sendiri. Demokrasi Amerika digambarkan sebagai gadis terhormat pada tataran wacana tapi sebagai pelacur dalam prakteknya. Amerika benar-benar lupa bahwa demokrasi, dalam teorinya, adalah murni tentang proses, tapi dilacurkan menjadi cara untuk mencapai tujuan.