Sosok Bang Fahri : ”Kolektif ” Efektif, Efisien – Al’Azalah

Takdir lah yang pada akhirnya ku bisa lebih dekat mengenalnya, lebih dari 7 kali ku bertemu dengannya secara langsung, baik diskusi secara umum berkelompok maupun berdiskusi empat mata plus para saksi temen seperjuangan. Sebetulnya sedari awal aku meyakini bahwa didalam sosok yang super keras nan tegas pasti tersimpan kelembutan nan kasing sayang yang tulus tentunya. Sering aku hanya bisa melihat dan mendengar tentang berbagai retorika kenegaraan hanya lewat TV, youtube dan sosmed yang lainnya. Tak pernah terbayangkan akan begitu dekat secara fisik nan verbal ketemu langsung dengannya. Benar kata pepatah orang yang faham terhadap kekacauan akutnya negeri ini hanya akan melahirkan dua kemungkinan, pertama ia akan banyak diam karena ketidakmampuan mengakumulasikan solusi yang super berat nan njlimet , ia akan lebih memilih zona aman dalam bersiyasah karena begitu besarnya resiko yang ditimbulkan, kepastian tingkat kesulitan yang sudah pada level ”dewa/tuhan”. Tak mungkin orang bisa memberikan solusi secerdas dan sehebat apapun ia. Kedua kemungkinan ia akan lantang dalam bernarasi dan banyak mengeluarkan diksi-diksi yang super keras nan tegas, hal itu dimaklumi karena dia jauh lebih banyak mengetahui kekacauan kekacauan yang super ”edan” dinegeri ini. Kalau beberapa waktu lalu presiden joko sempet melontarkan 1000 T uang negara ada diluar, maka sesungguhnya uang sebesar itu hanyalah receh yang teramat sangat kerdil untuk dibesar besarkan, jauh lebih banyak melimpah dari yang disebutkan.

Dalam beberapa kesempatan Allah mentakdirkan saya bertemu dengan orang lapis ketiga para ”taufan” pengendali negeri ini. banyak diskusi tentang kesemrawutan negeri ini, banyak ilmu tentang jahatnya sistem monopoli negeri ini , dari mulai bobroknya smua birokrasi yang memang disetting seperti itu jauh jauh hari, pengendalian negara oleh para pemodal super elit, banyak hal yang diutarakan dalam diskursus dikala itu. Pada awalnya semua sungguh terasa hal yang mustahil, hal yang dirasa terlalu melangit – 1000% tingkat kemustahilannya, 100% stres dibuatnya, sungguh hampir meledak kepala disaat mencoba memahami betapa parahnya pengelolaan negeri ini. Banyak mafia yang dibongkar dikala itu dan memang benar adanya, semua dari hasil prediksi prediksi dikala itu benar adanya dikemudian hari. Dari mulai kepemimpinan hasil pilpres sampai pembedahan penguasaan dunia dikemudian hari. Banyak hal yang menerawang-melangit namun semuanya terdokumentasikan dalam buku sempat dibocorkan beberapa itemnya. Maka dengan penjelasan itu, ketika mengenal bang Fahri ternyata dia sudah mengetahui itu jauh-jauh hari. Beliau sudah mengenal betul arti dari simulasi-simulasi kekacauan negeri ini, simulasi yang dirancang, didesign dan juga tentunya direncanakan puluhan tahun kebelakang berikut dikonsep untuk lima puluh tahunan kedepan.

Itulah kenapa seorang Fahri begitui kerasnya dengan para rekan Rocky Gerung, mereka jauh lebih mengenal penyakit negeri ini. Bang Fahri adalah sosok yang berapi api jika diajak diskusi, dia selalu mendemontrasikan percaturan politik bila itu berkenaan dengan sistem rumus tata kelola negara ini. Tidak jarang benda apapun yang ada disekitar diskusi akan dijadikannya bahan demo untuk merasionalisasikan gerakan perpolitikan dinegeri ini. Hal yang terkadang tidak dipercaya orang bahwa seorang Fahri adalah seorang yang ”katro” dalam kehidupan kesehariannya. Sekilas ia seolah seorang manusia kerdil yang biasa saja tidak ada keistemewaaannya sama sekali. Berpenampilan seadanya yang terkadang tidak pantas untuk dikenakan oleh seorang pejabat yang duduk disenayan, dalam beberapa malam ia tidak tertidur hanya karena memikirkan negeri yang super kacau ini. Sangat cuek dengan hal-hal yang tidak prinsiple, menggebu jika membahas kebobrokan para penguasa negeri ini. Menangis jika sudah bersentuhan dengan rakyat yang termiskinkan oleh sistem ”setan’ negeri ini. Sebuah sistem yang dibentuk untuk kemaslahatan bersama namun menjadi dinamika ”setan” dalam prakteknya. Semua builtshit, semua omong kosong, pencitraan atas nama idiologi, pencitraan atas nama agama. Padahal semuanya setttingan, padahal semuanya hanyalah ”cangkang” sampah yang hanya menjadi bamper kemunafikan saja.

Meski banyak kelebihan tentu Fahri juga manusia biasa, terkadang sikap dan sifat ketergesa gesaannya pula yang menjadi bumerang bagi dirinya. Sebuah analisa rasionalitasnya sering terpatahkan dengan hipotesa guru dan sahabat dekatnya, ya Anis Matta namanya. Banyak analisa rasionalitas kongkrit FH yang terpatahkan oleh seorang Anis Matta. Sampai sampai ketika dikonfirmasi, FH selalu mengatakan ” kalau sudah melakukan diskusi berat bersama beliau (AM) sungguh saya tidak bisa mengejar keilmuan beliau, analisanya tiga langkah jauh melampaui nalar saya dan kita”. Salah satunya dikala memprediksi hasil pilgub dan juga pilpres termasuk raihan suara PK* yang kala itu hipotesa FH dan AM bersebrangan bagaikan langit dan bumi. Untuk pilgub -pilpres konklusinya hampir sama dengan kenyataanya, namun untuk suara PK* dikala itu justru pendapat pa AM lah yang pada aklhirnya menjadi kenyataan yaitu suara diatas 8 %. Dua tokoh yang saling melengkapi sekaligus saling mengkritisi satu sama lainnya. Saya merasa bangga bisa bertemu, berdiskusi dan langsung bersentuhan dengan kedua tokoh ini, terlepas dari kekurangannya masing-masing tentunya. Ada ujian yang maha dahsyat bagi FH dikemudian hari, namun mudah-mudahan itu menjadi penggugur khilafnya dimasa membangun sebuah partai islam yang dianggapnya menyimpang dalam tata kelola kenegaraan dimasanya. Sebuah pemahaman kenegaraan yang saya rasa kita semua harus mencoba mempelajari dan tentu mensolusikannya dikemudian hari, sesuatu yang teramat mustahil menurut rumus ilmu kemanusiaan namun ketika bersandar kepada rumus Ilahiyah ketuhanan rasanya semuanya bisa tersolusikan pada saatnya, hanya bagaimana mengelola keyakinan kita, bagaimana mengelola keteguhan pondasi jiwa nasionalis kita kedepannya. Kedewaaan dan keberaniaanlah kiranya modal dasar bagi kita untuk sedikit bisa membuka tabir tabir kekacauan negeri ini. Negeri yang sampai kiamatpun tetaplah akan menjadi negeri yang penuh dinamika manipulatif-ketersandraan oleh dan bagi siapapun yang nantinya menjadi pengelola negeri ini termasuk ”Gelora” didalamnya. Kita hanya mencoba berikhtiar semaksimal mungkin, berkontribusi sekemampuan hati, berlomba lomba dalam kebaikan untuk negeri tercinta ini. Semoga semuanya bisa saling mewarnai negeri ini dengan berbagai macam perbedaan yang menyatukan. Sama halnya sebuah bangunan, berdiri kokoh dengan bahan bahan yang tidak sama, bisa terlihat indah dengan ribuan perbedaan yang mendasar namun saling menguatkan antara satu dengan yang lainnya.

Kekacauan Politik Pemikiran

Mengulang beberapa kilas balik kisah nyata sejarah Pergumulan Organisasi, Pilkada, Pilgub dan Pilpres dan yang lainnya. Banyak pencibiran disana sini disaat itu, sumpah serapah merajalela, kutukan demi kutukan menghujam bertubi tubi, cemoohan dan pengkerdilan jati diri memberangus naluri diri. Banyak yang kecewa dan tak sepaham, banyaknya yang hengkang dikala itu terkait ijtihad yang dirasa dan dianggap ”pemikiran politik sesat”. Dikala waktu itu kita memilih bercampur dengan kelamnya alam pemikiran, kita mencebur didalam pekatnya lumpur yang membau menyengat. Bergumul dengan komunitas orang yang dianggap perusak sendi tatanan kehidupan, bercengkrama manis dengan orang orang yang dianggap super atheis sejati. Hampir semuanya mengutuk tindakan itu, men”cap” liberal komunis pada waktu itu, pemikiran sesat nan terselubung.

Ketika pernah memegang pimpinan KAMMI tingkat kampus dikala itu, dalam kesempatan audiensi sekaligus evaluasi kinerja bidang hampir semua ”akhwat” dikala itu mengajukan protes yang super keras bahkan hampir setengahnya menyatakan keluar jika sikap dan prilaku saya tetap seperti itu. Tidak dipungkiri bahwa dikala itu rutinitas harian sebagai ketua komsat lebih banyak dihabiskan bersilaturahim, bergaul, bermalam bersama dengan semua unsur organisasi yang lainnya. HMI dan PMII itu yang paling kentara diwaktu itu. Kelamnya pergaulan dimasa dinamika organisasi sedikit banyak telah menjadikan renungan tersendiri tentunya. Banyak celah celah keterjebakan yang bisa membunuh karir itu sudah pasti dikala itu. Semua dijalani bak air mengalir dengan pondasi sekemampuan diri tentunya. Stigma bahwa mereka orang kotor, mereka anti beribadah, mereka tidak soleh, mereka menyimpang dan ratusan landihan yang sejenis, satu persatu saya luruskan dikala itu meskipun tentu dengan presprektik kontruksi pemikiran versi kemahasiswaan. Mereka marah mendengarnya, mereka wolkout pada akhirnya. Saya hanya katakan ”pada waktunya apa yang kau benci akan kau pahami sebagai sebuah bukti” mudah-mudahan kalian tetap saling mencintai akan artinya sebuah warna warni pelangi kehidupan. Banyak akhwat memilih menikah dengan orang kaya tho, yang lain menikah dengan orang tampan tho, menikah dengan pejabat, menikah dengan tokoh tho…mereka beralasan bahwa itu lebih menjamin dari pada menikah dengan mahasiswa kere’ yang untuk sekadar kuliah saja begitu terseok seok hanyut dalam kondisi ketersulitan yang teramat sangat mengkhawatirkan. Lalu apakah mereka bahagia ? saya rasa 97% justru berbicara sebaliknya, mayoritas KDRT dan orang ketiga…tapi ya sudahlah.

Dalam dunia organisasi sempat saya katakan bahwa pada masanya (2007 dikala itu) cantolan Forum SPP ini (yaitu PDIP) akan menjadi besar dan menguasai negeri ini dengan berbagai macam dinamika tentunya, banyak teman organisasi apalagi murabbi yang mengutuku dengan sebenci bencinya dikala itu sampai hampir saja disuruh disahadat ulang tentang jati diri keimananku dikala itu. Ku hanya tersenyum dikala itu. Aku pernah terlibat dengan mereka jauh sebelum terlibat dengan komunitas yang mengatasnamakan ”islam”. Bersahadat ulanglah kamu (itu yang kudengar). maka 7 tahun kemudian 2014 – sekarang itu menjadi kenyataan pada akhirnya, tapi sayang mereka semakin membenciku…tidaklah menjadi masalah semoga saja mereka bisa menyadarinya dan tentunya mengambil hikmah kebaikan didalamnya.

Ketika masa pilkada DKI Jokowi-Ahok begitupun sama . Waktu itu terjadi diskursus disebuah mesjid ikhwah. Semua merasa yakin 1100% bahwa HNW pasti jadi menjadi gubernur dengan prosentase diatas 78%. Hanya aku yang tidak setuju bahkan aku merasa yakin bahwa joko-Btp lah yang akan jadi. Semua mempertanyakan keyakinanku dikala itu, ”ente harus istighfar”, ”ente terlalu bodoh untuk masalah ini, jangan so menjadi orang tolol dalam politik, kami ini orang jakarta asli jauh lebih tahu tentang politik jakarta” ….oohhh. Lalu merekapun dengan kepedean yang super sekali melanjutkan diskursus uforianya. Apa yang terjadi dikemudian hari ternyata merekapun semakin membenciku bahkan menganggap bahwa pemikiranku sudah kotor nan sesat dengan mendukungnya joko-btp padahal dari hati yang paling dalam aku selalu mengatakan bahwa itu asumsiku saja berdasar hasil survey teman seperjuangan yang pada waktu itu menjadi tim sukses joko-btp.

Dalam perjalanan pilkada Kota Tasikmalaya, sama hampir 17 kali pertanyaan. Intinya satu bahwa Budi-Yusuf akan menjadi pemenang. Dengan arogansi dan kepedeean yang didasari amarah yang membuncah. Semua mengekerdilkan pemikiranku dukala itu, ”entemah terlalu tolol tanpa otak kalau ngomong” , ”entemah otaknya sudah terkunci dengan kejumudan pemikiran”, ”kasian, analisa ente terlalu bodoh untuk dipercaya, kami teramat sangat yakin kalau Dede – Asep pasti pemenangnya dan ente harus tobat-sahadat kalau besok Dede -Asep pemenangnya”. Saya tersenyum dan hanya bisa mengatakan jangankan tobat verbal, digantungpun saya siap kalau bahwa Budi lah yang akan menjadi pemenang-,tentu berdasar data survey 7 bulan terakhir baik dengan tim sukses lawan bahkan kawan sendiri. Apa yang terjadi, ya memang benar Budi menjadi pemenang dan lagi lagi mereka semua semakin membenciku dikala itu, tapi biarlah semoga mereka pada akhirnya memahami akan hakekat diri.

Adapun dalam pilpres 2014 yang lalu lebih tragis lagi, mereka menganggap bahwa darahku terhalalkan, pemikiranku tersesatkan. Bahkan ada sebagian yang cenderung meyakini bahwa aku tetesan agen yahudi yang pasti kebenarannya. Dikala itu aku mengatakan bahwa apapun yang terjadi pilpres ini tetap akan dimenangkan oleh jokowi-JK, terlepas manipulasi dan dinamika kecurangan-kecurangan yang lainnya. Dataku hanya berdasar negosiasi antara LBP dan PS dikala itu, bahwa intinya pertarungan ini adalah formalitas semata, bertarung untuk kalah, bertarung hanya semata untuk mendapatkan materi yang melimpah bagi si kalah. Apa yang terjadi semua menyumpah serapahi aku dan mereka menganggap bahwa pemikiranku benar benar sudah rusak stadium IV, ”pemikiran ente sudah kacau-turun mesin parah”, ”ente bener bener sudah gila dan kacau balau- mustahil itu semua terjadi”. hemmmm….mudah2n saja hipotesa saya salah (dikala itu). Apa yang terjadi ? …. dengan berbagai macam dalih rasionalitas mereka tetap membela dan meyakini bahwa PS-SU adalah pemenangnya meski realkitasnya berkata lain-hingga sekarang tentunya. Entah karena malu atau gengsi atau apalah namanya kini mereka tak lagi mau bertemu denganku bahkan kata temen deket, mendengar namaku saja mereka tak sudi, bahkan mereka merasa sangat bahagia uforia ketika kini aku sudah tidak lagi diwadah yang sama dengan mereka, aku sudah tidak serah lagi dengan mereka. Ntahlah yang ku dengar mereka slalu menjelek-jelekanku bahkan sebagian mengutuku dengan keras bahwa pemikiran hipotesaku benar benar ”tersesat campur paur dengan kepentingan agen yahudi laknatullah”. hemmm. Seandainya mereka tahu bahwa pilpres 2024 nanti akan jauh lebih menghebohkan dan akan menjadi surviv tercacat nan terparah dalam sejarah tersendiri bagi para pejuang hati yang selalu menjust paling benar, merasa paling hebat, merasa paling super power, mudah2n mereka semua kembali menyadari bahwa ini semua hanyalah permainan duniawi yang teramat sangat kerdil untuk dibesar besarkan. Terimakasih untuk semua kebencian kebenciannya selama ini, mdh2n ini menjadi ladang pahala bagiku. camkamlah bahwa sampai kapanpun saya tetap mencintai kalian karena Allah. Insya Allah. barokallahu lakum fiii khoerin.